TUGAS seni sakral
“Barong
Bangkung”
I. PENDAHULUAN
Bali memiliki banyak budaya, sehingga mengundang
banyak wisatawan untuk datang ke pulau Bali. Karena Bali memiliki pesona
tersendiri, yang terdiri dari beberapa Desa Pakrman, yang memiliki
masing-masing budaya yang berbeda-beda. Yang membuat keaneka ragaman budaya
Bali, dan kasanah tradisi dari masing-masing Desa atau tempat yang ada di Bali.
Sehingga Bali memiliki banyak budaya dan seni. Dalam upacara ke Agamaan
terdapat tradisi atau budaya yang melengkapi plaksanaan upacara ke Agamaan di Bali.
Ada beberapa pelengkapa plaksanaan upacara yang ada di Bali, seperti: Gamelan,
Tembang, Tarian. Dan yang lainnya, yang semuanya itu membantu prosesi
plaksanaan upacara ke agamaan yang ada di Bali.
Dan tarian yang fungsinya mengiringi upacara ke Agamaan
tidak hanya satu jenis saja namun ada
beberapa jenis, diantaranya Tarian Barong. Dan tarian Barong Saja ada beberapa macam diantarnya: Barong
Bangkung, Barong Brutuk, Barong Ket, Barong Landung. Tarian ini biasanya di
pertunjukkan di pura dan ada juga tariaN Barong yang bisa juga di pertontonkan. Ada pula Barong
yang di Sakralkan. Tarian Barong ke banyakan terdapat di Daerah Bali Selatan. Bahwa nama “Barong“ berasal dari nama sejenis binatang
“Beruang“, telah hampir populer di mayarakat Bali, diterima secara spontan
tanpa suatu prasangka. Uraian tentang Bali yang direncanakan secara umun
ataupun dalam bentuk sebuah monogram, oleh beberapa peninjau asing (Penulis
Bali sendiri tidak pernah tahu –menahu) yang memperoleh impormasinya dari
berbagai pihak di Bali, hampir tak pernah menanggapi persoalan nama ini secara
serius.
Ada pula banyak fungsi dari Barong, tidak hanya
sebagai pengiring upacara ke-Agamaan saja namuan, dapat pula di jadikan
tontonan. Barong memiliki banya jenis. Diantaranya Barong Bangkal yang akan
saya bahas pada tugas saya ini. Karena Barong Bangkal adalah sejis Barong yang
sejis dengan babi. Dan memiliki ke unitikan tersendiri.
II. PEMBAHSAN
2.1 Pertian
Barong dan Asal-usul Barong.
Bahwa nama “ Barong “ berasal dari nama sejenis
binatang “ Beruang “, telah hampir populer di mayarakat Bali, diterima secara
spontan tanpa suatu prasangka. Uraian tentang Bali yang direncanakan secara
umun ataupun dalam bentuk sebuah monogram, oleh beberapa peninjau asing (
Penulis Bali sendiri tidak pernah tahu – menahu ) yang memperoleh impormasinya
dari berbagai pihak di Bali, hampir tak pernah menanggapi persoalan nama ini
secara serius.Namun diantaranya ada juga yang memberi komentar demekian : “Nama
Barong“ berasal dari nama nama sejenis binatang “Beruang“, namun barong tak
pernah hidup di Bali. Pendapat demikian membayangkan suatu pendirian yang
mengembalikan segala produk seni kepada “geophysical envi roment“.
Singa
dan Gajah tidak ada di Bali, sebagaimana halnya dengan beruang. Akan tetapi, baik
Singa ataupun Gajah sungguh populer di Bali, dia dikenal pada “pertualangan“ (peti
jenazah berbentuk singa bersayap) dengan nama “singambara “, pada nama kota dan
desa (Singamandawa, Singadwara, Singaraja, Singapadu dan sebagainya) pada
sastra dan cerita rakyat. Gajah dikenal pada pertualangan (gajahmina), pada
patung (genesa), pada relief / seni ukir (karangasu),
pada nama bangunan (guagajah ), nama sebangsa rumput (padang gajah) dan
sebagainya . Binatang – binatang ini tidak berakar dialam , tetapi hidup dalam
sastra yang digemari masyarakat. Dalam hal ini bukan environment (lingkungan)
yang menjelaskan, akan tetapi kebudayaan.
Demikian
juga halnya dengan harimau, Berbeda dengan kedua jenis binatang tadi, harimau
memang ada hidup di Bali. Namun sebangsa rumput (padang gajah) dan sebagainya. Binatang–binatang
ini tidak berakar dialam, tetapi hidup dalam sastra yang digemari masyarakat.
Dalam hal ini bukan environment (lingkungan) yang menjelaskan akan tetapi
kebudayaan.
Demikian
juga halnya dengan harimau. Berbeda dengan kedua jenis binatang tadi, harimau
memang ada hidup dibali. Namun seniman-seniman
Bali sendiri tidak baik secara langsung maupun khayalan untuk menjadikan model
dalam hal seni rupanya. Selain binatang itu hampir tak pernah dilihat. Adalah
lebih praktis kalau seniman–seniman seni rupa kontenporen itu hanya meniru atau
membuat klise saja dari hasil karya rekan–rekannya terdahulu, yang tidak pula
disangsikan berasal dari kebudayaan Hindu Jawa di jawa. Dalam hal ini
dikecualikan model – model yang diangkat dari binatang peliharaan seperti :
babi, anjing, kambing, kuda, sapi, lembu, kerbau, misa, kera, tikus, kucing,
dan hampir semua bangsa unggas.
Kalau
nama “Barong“ itu hendak dipertahankan berasal dari nam “Beruang“, sebuah
hipotese dapat dibentuk. Beruang tidak hidup dalam sastra Hinduistic, juga
tidak dalam seni rupa atau sejenis itu yang bersifat tradisionil , tetapi
didalam sastra Melayu yang Islamic. Kita dapat misalnya menyatakan , bahwa
istilah “beruang“ dikenal oleh masyarakat Bali lewat leluhurnya yang ada di
jawa, sejaman kerajaan Majapahit muali surut. Kerajaan islam mulai berdiri,
bahwa kota–kota pelabuhan dipantai utara jawa timur menggunakan bahasa Melayu
sebagai bahasa pergaulan (terutama pergaulan dagang), Bahwa dalam pergaulan
nama “beruang“ disebut–sebut selesai, Namun apakah semua ini perlu?
Kita
kira tidak perlu, karena sebenarnyalah kata “barong“ tidak ada sangkut pautnya
dengan istilah “beruang“ nama sejenis binatang yang hidup didaratan Sumatra atau
tanah Melayu ( Malaysia ).
Kata
“Barong“ adalah kata asal yang dapat dikembalikan kepada sebuah kata jadian,
terdiri atas suku kata awal ”ba“ dan suku kata akhir
“rong“ . Rong sama artinya dengan “rua“ ( dua ). Dalam bahasa jawa kita kenal
kalimat “rong dir“ yang berarti dua orang, dalam bahasa jawa kuno ( kawi Bali )
pada istilah “rua bhineda“ ( dua berbeda ). Suku kata “ba“ adalah awalan “ber“
dalam bahasa indonesia, dan dianggap sebagai berasal dari awalan dalam bahasa
melayu kuno. Demikian hingga dewasa ini , bahasa Melayu Minang (kaba) misalnya,
masih tetap mempergunakan awalan “ba“ seperti dalam kata–kata: bertandiang
(bertanding), bakumpua (berkumpul), batalua (bertelur, bapain (bepergian) dan
sebagainya. “Barong“ dengan demikian
dapat berarti “berdua“ atau dalam bahasa jakarta “berduan“.
Barong berasal dari “ba – ru – a – ng“ “Ru“ dengan “a“ berasimilasi
menjadi “r” yang berarti diua.
Dalam bahasa Jawa Baru kita kenal
kalimat “ping ro“ ( dua kali ), dalam bahasa bali “dauh ro“ pagi–pagi, kitra–kira
jm 8-9, sasih karo ( bulan dua ). Huruf akhir “ng” fungsinya sama dengan akhiran “an“ pada bahasa jakarta Oleh karena
“ng“ merupakan akhiran semu, maka dijakarta akhiran ini ditambah lagi
dengan akhiran “an“, sehingga kata “barong“ menjadi “ barongan“ . Menurut jalan pikiran ini, maka barong adalah suatu
benda ( permainan, quasi seni, seni ) yang dimainkan berdua.
Namun
ada pendirian lain tentang nama “Barong“ ini yang bertolak kepada suatu
pendapat, bahwa bahasa adalah suatu kebiasaan (costum), bahwa cara berpikir etymologic
dianggap (dalam hal ini) sebagai dibuat – buat (artificial). Dikatakan, sebuah
kata yang terdiri dari dua suku adalah masih tetap azasi didalam bahas Bali,
bahwa kata itu menjadi kenyataan disebabkan oleh “rasa bahasa“ , dus bukan
berdasarkan logika. Pendirian ini berkata, bahwa bila istilah – istilah bahasa
Bali kita teliti, maka ternyata suku kata akhir “rong“, sebagaimana halnya
dengan suku kata akhir “rung“ akan menimbulkan pengertian adanya “ruang“ atau “besar” pada sesuatu yang
dikenai istilah itu. Dalam hubungan ini ditemukan contoh seperti kata – kata :
semprong, brerong, rongrong, arong, porong dan sebagainya, demikian halnya
dengan sarung , karung , surung , barung , kurung dan sebagainya. Kemudian
katanya malah setiap kata berakhir dengan nasal “ng“, misalnya : bolong,
dadong, sangmong, kantong, gondong, lobong, dan sebagainyaa. Disimpulkan bahwa
“barong“ adalah suatu benda apapun kwalifikasinya, yang srukturnya demikian
rupa sehingga memiliki “rong“ atau “ruang“.
2.2
Perngertian Barong
Bangkal.
Bangkal
adalah babi jantan yang usianya sudah lanjut (tua) di Bali. Bangkal juga
merupakan binatang mytos yang mempunyai kekuatan gaib. Pakaian dari pada Barong
ini dibuat dari pada kain beludru atau yang sejenis berwarna hitam, putih,
merah, dan warna–warna lainnya. Barong bangkal diusung oleh dua orang, belakang
dan muka. Barong ini dipertunjukkan pada Hari Raya Galungan dan Kuningan. Biasa “ngelawang“ (pertunjukan
keliling) selama satu bulan atau lebih. Orang–orang bisa merasa kehidupannya dilindungi
Bhatara dan Bhatari jika didatangi oleh
barong Bangkal. Biasanya pertunjukkan Barong Bangkal diiringi oleh seperangkat
gambelan bebatelan yang terdiri dari instrument-instrument seperti kendang, cengceng, kelenang,
kempur, tawa – tawa, dan suling. Barong Bangkal ini biasanya terdapat didaerah
Kabupaten Gianyar, seperti di Desa
Singapadu, Belang , Pinda, dan lain –lainnya. Dan juga terdapat di Denpasar da
Tabanan.
2.3 Proses Pembuatan Tapel Barong.
Pada
kesempatan ini akan disamaikan teknis pembutan tapel Barong dari sejak mencari
bahan kayu sampai jadi tapel Barong sebagai hasil karya seni. Umumnya pada setiap
karya Undagi/Sangging harus memperhatikan ketentuan “kesucian kayu” bangunan/hasil
karyanya. Para Undagi/sangging tapel harus mengingat dan memperhatikan hal–hal yang
berhubungan dengan masalah–masalah tersebut diatas, karena kalau berbuat salah
bisa berakibat buruk bagi pemilik tapel atau pada si sangging sendiri.
Beberapa
hal mengenai proses kesucian kayu bahan tersebut, antara lain:
1.
Apakah sudah nunas /
mohon secara wajar menurut adat dan agama?
2.
Sudahkan dilakukan
upacara nuwedin (dengan upacara tertentu / waktu memohon kayu bahan itu?
3.
Apakah sudah matur
pekeling / memberitahukan ditempat nunas kayu bahan, tentang sudah diserahkan
kayu tersebut kepada si Undagi / Sangging untuk dikerjakan menjadi tapel Barong
?
4.
Bolehkah pembuatan
tapel itu dikerjakan dirumah si Undagi /Sangging ataukah harus dipura yang
bersangkutan ?
5.
Dan lain – lain.
Setelah
di Undagi/Sangging itu menerim kayu bahan itu, dengan banten / sesajen sebuah
peras, ituk–ituk, mulailah si Undagi/Sangging itu melakukan “pralina“ yakni
mematikan fungsi kayu itu menjadi kayu mati yang dapat dijadikan bahan tapel
Barong. Proses praline, Utpeti, Sruti ini akan tetap dilaksanakan oleh para
Undagi/Sangging didalam mengerjakan hasil karya seninya. Kayu fungsinya sebagai
kayu hidup menjadi kayu mati/bahan mati. Proses mematikan ini sangat menentukan
dalam tindakan mengerjakan selanjutnya, karena dalam pekerjaan itu akan
dilakukan dengan bermacam– macam perbuatan yang dapat mengurangi kesucian kayu
itu, seperti dipegang dengan kedua kaki si Undagi /Sangging dalam memahat kayu
bahan itu.
Dan
pada waktu nunas (mohon) kayu itu pada suatu pura yang dapat ditunjuk, atau
tempat keramat lainnya, diusahakan kalau dapat salah satu dari jenis kayu
tersebut diatas, dan jika memang tidak ada maka barulah dipilih jenis lainnya,
karena yang terpenting adalah nilai kesucian keagamaannya. Kadang – kadang juga
dianggap baik ialah kayu Cempaka, Sandat dan lainnya. Jika terdapat kayu Pole,
maka kepuasan rohani orang yang nunas/mohon akan lebih hebat lagi karena
disamping baik dalam arti sacral akan tetapi memang kayu ini berkualitas baik
untuk tapel.
2.4 Proses Sakralisasi
Tapel Dan Busana Barong.
Setelah
tapel beserta busana Barong itu dipasang, tapel dengan busananya ini adalah
masih merupakan benda–benda mati (dulu dipralina fungsinya) dan sekarang
barulah dicarikan hari baik untuk di Utpeti (dihidupkan). Yang dimaksudkan dalam
peristiwa ini ialah segala daya upaya sekeha / penyungsung tetangunan itu untuk
menciptakan suatu keadaan tertentu pada tapel / busana Barong , dari keadaan
baru selesai dibuat oleh si Undagi / Sangging tapel untuk mencapai suatu
tingkat kesucian tertentu.
Proses
ini berlangsung atas beberapa upacara keagamaan sebagai berikut :
1. Tingkat
Prayascita dan Melaspas
2. Tingkat
Ngatep dan Masupati
3. Tingkat
Mesuci / Ngerehin
Umumnya
tapel beserta busana Barong yang mengalami proses sakralisasi ini adalah yang
merupakan pengayon Desa. Tapel/busana lainnya sekalipun dikramatkan tetapi
kalau hanya untuk perorangan saja , cukup mengalami proses sakralisasi tingkat
Masupati. Misalnya tapel topeng dan tapel lainnya yan pengkramatannya
terbatas pada pragina/orang bersangkutan bertahan dengan gaya “taksu“ yang
diharapkan atas tapel/busana tersebut .
Dalam
hal ini seolah–olah daya magis tapel/busana itu dapat kita bagi menjadi dua
jenis :
1.
Daya magis khusus untuk
pragina sehingga dengan daya ini akhirnya terciptalah sesuatu daya tertentu
pada penonton yang tanpa daya ini tidak
akan bisa diperoleh dari penonton.
2.
Daya magis disamping
khusus pada pragina sehingga terciptalaah suatu efek tertentu , juga dapat
memberikan suatu kekuatan pada masyarakat pendukungnya.
Pada
umumnya untuk memperoleh / memiliki daya magis inilah diperlukan proses sakralisasi tingkat
ketiga yaitu mesuci pada tempat keramat / tempat suci. Dan tingkat – tingkat
Sakralisasi, yaitu:
2.4.1 Tingkat
maprayascita / mepelaspas
Tujuannya
adalah mengapuskan noda–noda/ leteh yang terdapat pada kayu itu sendiri ataupun
mungkin leteh itu terjadi waktu pembuatannya oleh si Undagi, karena dilakukan
bermacam–macam cara yang bisa mengurangi/mengotori kesucian kayu tersebut.
Leteh/kotor yang dimaksudkan adalah leteh/kotor dilihat dari sudut agama.
Proses ini mengembalikan keadaan kayu yang sudah menjadi tapel itu suci seperti
kayu bahan dasarnya yang memang secara keagamaan dijaga dan dipertahankan
melalui proses nunas dengan upacara tertentu pada tempat suci atau keramat/angker.
2.4.2 Tingkat
Ngatep dan Masupati
Setelah
upacara prayascita/pemelaspas selesai, masih ada upacara yang harus dilakukan
oleh si Undagi/Sangging tapel yakni yang disebut “ngatep“ . Ngatep bukan untuk
tapel penunggalau saja seperti sejenis tapel Barong, tapel Rangda saja, akan
tetapi juga berlaku pada tapel–tapel lainnya. Secara simbolis tapel itu
disambung (ngatep) dengan badannya dan pada gelungan / mahkota dengan busana
lainnya seperti pada tapel–tapel keramat: tapel wayang wong.
2.4.3 Tingkat Mesuci/Ngerehin
Pada
tingkat ini “tetangunan“ (pembentukan) Barong yang biasanya disertai rangda
yang sudah mengalami proses Pralina, Utpeti dan Stiti, akan mengalami suatu
peristiwa yang disebut Mesuci atau Ngerehin (Lontar Indik Kawisesan Ngerehin
Tapel, Duwe Ida Pedanda Gede Pemedilan Pemecutan) diadakan oleh penyungsung, kapan saja jika
dipandang perlu, atau bisa juga Mesuci ini sebagai permintaan dari kekuatan
gaib yang “diam“ pada tapel tersebut. Mesuci ini dapat dilakukan didua macam
tempat :
a.
Pekuburan/angker
b.
Komplek pura/Tempat
suci
Upakara/bebanten
masuci dikuburan/tempat angker memakai dasar/tempat duduk yang akan “Nyaluk“,
adalah tulang tengkorak manusia ( 3 biji ) dan kalau masuci itu diaadakan
dikomplek pura/tempat suci, maka yang dipakai dasar/ tempat petapaan bukan tulang tengkorak manusia akan tetapi kelapa
gading yang muda (bungkak).
2.5 Taksu
Adalah suatu daya kekuatan yang terpancar dari seseorang
Pragina (senima) sehinga dengan kekutan
ini dia lebih berasil dalam petujukan. Dalam suatu pertunjukan Taksu dapat
membatu memberikan nilai tambahan pada kemampuan teknis seorang pragina.
Sehingga keluesan gerak, keindahan gerak dan laun-lain unsur-unsur indah dalam
gerak , tari akan diperindah lagi daya
kekutan ini
Taksu dapat memberi kemampuan
dalam segala macam bentuk kesenian,
dbagi seni suara dia akan memberikan nilai tambahan lagi sehingga kemampuan
sipragina (seniman) mengatur vada-nada suaranya menjadi sura yang lebih indah, manis itu akan timbul
mantap dan bewibawa. Pendeknya bagi pertunjukan kesenian Bali mentaksu mempunyai
peranan yang cukup penting demikian pentingnya
taksu itu tetapi sulit kita kupas
secara analisa ilmiah. Hanya dapat kita uraikan dengan kepercayaan sebagai dasar analisanya. Karena Taksu itu
menyangkut bidang kepercayaan.
Secara umum penulisan dapat kemukakan bahwa kekuatan
gaib yang ada dalam pertunjukan kesenian Bali ada 2 macam.
1.
Kekuatan
gaib yang terpancar dari suatu alat kesenian sehingga alat kesenian itu
bernilai keramat, angker,menakutkan. Dan kekuatan gaib yang
terpancar disini yang dapat membantu juga suksesnya suatu pertunjukan lebih
bersifat umum. Yaitu dapat memberi efek positif
pada hampir setiap orang yang memakai alat kesenian itu. Seperti barong keramat, akan tetapi
menunjukan kewibawaannya dalam pertunjukan itu kalau ditarikan oleh orang orang
yang sudah ditugaskan untuk itu.
2.
Kekuatan
gaib yang bisa terpancardari pribadi sipragina ataupun dari alat yang dipakainya. Dan kekuatan gaib ini lebih
pribadi sifatnya. Hal ini dapat dimengerti karena memang proses mendapatkannya
juga secara pribadi.
2.6 Barong Sebagai Seni Pertunjukan
Barong disamping sebagai figura yang di kemikakan dan
berfungsi sebagai pelimdung dari masyarakat, pendukungnya, ia juga berfungsi seni pertunjukan Barong karna
banyak jenis-jenis Barong yang lain yang menarik untuk diteliti dari segi pertunjukn, misalnya:
seperti Barong Landung, Barong Berutuk dan Barong Biasa-biasa namun karna ia
mempunyai keunikan masing-masing. Ia pun memerlukan study tersendiri.
Kendatipun sudah disebutkan di muka
bahwa pertunjukan barong tidak menggunakan lahon,namun perkembangan selanjutnya
ternyata, ia menggunakan lakon , adapun lakon-lakon yang lasim di gunakan di
dalam pertunjukan Barong adalah ceriteria calon arang, japatuan, Balian Batur,
Basur dan beberapa seni kereteria
lainnya.
Kapan kriteria-kriteria dimasukkan
sebagai lakon tari Barong , hal itu lperlu di selidiki lebih seksama Menurut
catatan Bapak I ketut Rindhe dari Belahbatuh binwa pertunjukan Calonarang sudah
terdapat di Gianyar pada tahubn 1625 yaitu pada tahun pemerintahan I Dewa
Agung Sakti di Kelungkung . konon
penari-penari Calonarang di ambil dari tokoh-tokoh pegambuhan di antarnya I Sabdha dan I gaya sedangkan pelatih
tabuhnya adalah I Dewa ketut Blacing dan I Gst ketut Rencong. Keempat tokoh
tersebut diatas adalah seniman terkemuka di daerah Gianyar pada abad ke 19 yang
menujukkan karya-karya niya di bidang tari Gambuh dan Legong. Pada kenyataannya
bentuk-bentuk tari yang di pergunakan di dalam penyalonarangan adalah mendapat
pengaruh dari Gambuh, sedangkan Gending-gendingnya memakai gending pelegongan
yang kini umum di sebut gending Penyalon Arangan Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan .
bahwa dengan tokoh-tokoh itu yang ahli dalam pegambuhan dan pelegongan memberi
corak dan warna yang sama di dalam penyalonarangan
Dalam perkembangan selanjutnya di
daerah Gianyar pada tahun 1920-an bahwa barong yang melakonkan Calonarang makin
populer kususnya di Desa-desa seperti. pegutan, Denjalan, Tegal tamu (Batubulan)
, Siungepadu (Suke Wati) , Pejeng (Bedeulu) dan lain-lainnya.
2.7 Gambar
Barong.
III. PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Dari materi diatas dapat saya simpulkan bahwa barong tidak dapat
sebagai mengiri prosesi upacara saja namun dapat sebagai tontonan. Barong
bangkal kebanyakan terdapat di Daerah Gianyar, Denpasar, Tabana. Barong Bangkal
merupakan
babi jantan yang usianya sudah lanjut (tua) di Bali. Bangkal juga merupakan
binatang mytos yang mempunyai kekuatan gaib. Pakaian dari pada Barong ini
dibuat dari pada kain beludru atau yang sejenis berwarna hitam, putih, merah,
dan warna–warna lainnya. Barong bangkal diusung oleh dua orang, belakang dan
muka. Barong ini dipertunjukkan pada Hari Raya Galungan dan Kuningan.
DAFTAR
PUSTAKA
pasti di IHDN masuk mok o?apo gen bagian - bagian barong nge ?
BalasHapus