Selasa, 28 Januari 2014

KRISTALISASI SIVA SIDDHANTA DALAM SANGGAH MERAJAN DADIA “PASEK TANGKAS KORI AGUNG DESA NAGASEPAHA”


  SIVA SIDDHANTA II

KRISTALISASI SIVA SIDDHANTA DALAM SANGGAH MERAJAN DADIA “PASEK TANGKAS KORI AGUNG
DESA NAGASEPAHA”

                Dosen Pengampu: I Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H



OLEH :
                             NAMA   :    NI LUH PUTU ASTINI
                                    NIN           :     10.1.1.1.1.3865
                                    PRODI     :     PAH /V.B


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

2012

I. PENDAHULUAN
            Merajan atau sanggah dalam sebuah keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang berdasarkan kosep Tri Angga, Tri Mandala, dan juga Tri hita Karana. Merupakan sebuah tempat untuk memuja tuhan dan juga roh leluhur .
             Dasar dari Tri Angga, Mrajan adalh sebuah tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia. Genah Madianya adalah rumah itu sendiri yang ibaratkan badan manusia, nista angganya adalah perkebunan atau pekarangan itu sendiri, dan juga tempat mandi itu juga seperti badan kita sendiri. Tri Angga itulah yang tidak boleh pisah dari struktur badan manusia, seperti kepala, badan dan juga kaki.
            Dasar dari Tri Mandala itu sendiri adalah Mrajan sebagai utamanya, sdangkan keluarga adalah Madyanya, dan nistanya adalah pakarangan itu sendiri, jika tempat suci, mesti mengikuti sebuah aturan dimana arahnya adalah timur atupun utara, kaje kangin, timur laut jika arah timur laut di anggap kurang memadai untuk sebuah bangunan suci, karena alasan seperti tempatnya agak pendek, di hujani air cucuran tetangga, dan juga terdapat sebuah tempat yang kurang enak dalam segi kebersihan, maka tempat tetrsebut dapat ditinggikan menjadi Mrajan.
            Dasar Tri Hita Karana juga berbicara dalam merajan ini, Mrajan adalah sebuah tempat dimana Prahyangan tempat untuk memuja tuhan dan juga roh leluhur menjadi satu, selain dari satu keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya juga. Di perlukan sebuah tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang dalam hal ini berhubungan dengan Tuhan yang maha esa 
            Singkat katanya, Mrajan adalah sebuah tempat suci yang brada di setiap lingkungan keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur.          



II. PEMBAHASAN
2.1       Sejarah Kawitan Tangkas Kori Agung
            Keturunan Gede Pasar Badung diangkat menjadi Bandesa di Desa Kayuan (Karangasem). Sebab itu ia disebut Bandesa Kayuan. Entah berapa lama ia menjadi Bandesa di Desa Kayuan, ia lalu menurunkan dua anak laki-perempuan. Yang sulung perempuan bernama Luh Kayuan. Adiknya laki-laki bernama De Kayuan. Selagi jejaka, De Kayuan meninggal dunia. Bandesa Kayuan sangat sedih hatinya, karena ditinggalkan oleh anaknya yang laki-laki. Jenazahnya sudah diupakarakan sebagaimana mestinya. Kemudian datang di Bali seorang brahmana Buddha dari pasraman dalam Wanakeling, Madura. Brahmans yanL sedang melakukan dharma wisata itu bernama Danghyang Kanaka. Di dalam perjalanannya keliling Bali, pads suatu hari sampailah beliau di Desa Kayuan. la lalu beristirahat di depan rumah Bandesa Kayuan.
Ketika Bandesa Kayuan keluar rumah, ia menjumpai seseorang sedang istirahat di depan rumahnya. Ketika ditanya, orang itu menjawab bernama Danghyang Kanaka, berasal dari Pasraman Wanakeling, Madura. Danghyang Kanaka menjelaskan, bahwa beliau datang ke sans di dalam perjalanannya berdarma wisata ingin mengetahui keadaan sebenarnya. Danghyanag Kanaka jugs menjelaskan, Pulau Bali sangat terkenal keindahannya.
Bandesa Kayuan lalu keturunan Gde Pasar Badung diangkat menjadi Bandesa di Desa Kayuan (Karangasem). Sebab itu ia disebut Bandesa Kayuan. Entah berapa lama ia menjadi Bandesa di Desa Kayuan, ia lalu menurunkan dua anak laki-perempuan. Yang sulung perempuan bernama Luh Kayuan. Adiknya laki-laki bernama De Kayuan. Selagi jejaka, De Kayuan meninggal dunia. Bandesa Kayuan sangat sedih hatinya, karena ditinggalkan oleh anaknya yang laki-laki. Jenazahnya sudah diupakarakan sebagaimana mestinya. Kemudian datang di Bali seorang brahmana Buddha dari pasraman dalam Wanakeling, Madura. Brahmans yanL sedang melakukan dharma wisata itu bernama Danghyang Kanaka. Di dalam perjalanannya keliling Bali, pads suatu hari sampailah beliau di Desa Kayuan. la lalu beristirahat di depan rumah Bandesa Kayuan.
Ketika Bandesa Kayuan keluar rumah, ia menjumpai seseorang sedang istirahat di depan rumahnya. Ketika ditanya, orang itu menjawab bernama Danghyang Kanaka, berasal dari Pasraman Wanakeling, Madura. Danghyang Kanaka menjelaskan, bahwa beliau datang ke sans di dalam perjalanannya berdarma wisata ingin mengetahui keadaan sebenarnya. Danghyanag Kanaka jugs menjelaskan, Pulau Bali sangat terkenal keindahannya.
I Gusti Ngurah Jelantik di Puri Pejeng pads malam perkawinan tersebut, tatkala hari mulai gelap. Ada yang Sedang mandi tiba-tiba mendadak s mengurung Puri Pejeng pasukan Pejeng merintahkan pasukan Terjadilah pertemp keris pusakanya berlangsung cukup lama, perte Selatan Pejeng. Ngurah Jelantik bantuan pasukan mahkota Gianyar.
 Danghyang Kanaka lalu bertanya mengapa rumah Bandesa terasa sunyi. Danghyang Kanaka juga melihat Bandesa Kayuan memendam kesedihan. Bandesa Kayuan lalu menjelaskan, bahwa memang benar rumahnya terasa sunyi dan is dalam keadaan sedih akibat anaknya yang laki-laki meninggal dunia saat masih jejaka. Yang masih hidup adalah anaknya yang perempuan saja bernama Luh Kayuan. Yang juga menyedihkan, Bandesa Kayuan sudah lanjut umur sehingga tidak mungkin lagi menurunkan parati santana. Danghyang Kanaka lalu bertanya apakah Bandesa Kayuan menginginkan keturunan lagi. Bandesa Kayuan menjawab, memang demikian keinginannya. Oleh sebab itu, Luh Kayuan lalu dikawini oleh Danghyang Kanaka. Mereka mengadakan upacara perkawinan di rumah Bandesa di Desa Kayuan.
Kemudian dari perkawinannya ini, lahir dua orang anak laki-laki. Yang sulung diberi nama Pangeran Mas, dan adiknya Pangeran Wanakeling. Pangeran Mas lalu diserahkan kepada Bandesa Kayuan sebagai keturunannya. Sedang Pangeran Wanakeling diajak kembali ke Wanakeling di Madura. Sebelum berangkat, Danghyang Kanaka berpesan kepada Bandesa Kayuan, supaya desa tersebut mulai saat itu diganti namanya menjadi Kayumas. Sedang Pangeran Mas sesudah menggantikan kedudukan sebagai bandesa, bergelar Bandesa Kayumas. Lama-kelamaan setelah Mpu Asthapaka (penganut agama Bud­dha) datang di Bali dan bertempat tinggal di Desa Kayftas (Karangasem), Desa Kayumas kem'udian diubah namanya menjadi Desa Budakeling. Nama itu diabadikan sebagai kenangan bahwa beliau berasal dari Keling yang memeluk agama Buddha. Sekarang keturunan Mpu Asthapaka disebut Brahmans Buddha.I II
Pada tahun aka 1768 (tahun 1846 M) yang berkuasa di Pejeng adalah Cokorda Pinatih. Salah seorang putrinya dipinang oleh I Dewa Manggis Dhirangki, Raja Gianyar untuk dijadikan istri. Namun pinangannya ini ditolak. I Dewa Manggis Dhirangki menjadi sangat march. Panglima pasukan Gianyar I Gusti Ngurah Jelantik XVIII mohon izin kepada Raja Gianyar untuk menggem­pur Pejeng
Gusti Ngurah Jelantik dangan pasukan pilihannya mendatangi Pejeng dan melakukan penyerbuan. Akan tetapi pihak lawan tidak melakukan perlawanan. Sebaliknya I Gusti Ngurah Jelantik diterima dangan ramah tamah oleh Cokorda Pinatih serta diper­silakan masuk ke Puri Pejeng. Dengan kejadian ini, I Gusti Ngurah Jelantik berpendapat bahwa sengketa antara Pejeng dengan Gianyar tidak perlu diselesaikan dangan kekerasan. Mengingat keramahtamahan Cokorda Pinatih, sengketa ini dapat diselesaikan melalui perundingan.
I Gusti Ngurah Jelantik dangan seluruh pasukannya lalu tinggal di Puri Pejeng pada malam hari itu. Di sang dibahas tentang rencana perkawinan tersebut, untuk menghindari pertumpahan darah. Tatkala hari mulai gelap, pasukan Belahbatuh sedang beristirahat. Ada yang sedang mandi dan ada yang beristirahat santai. Namun tiba-tiba mendadak sontak pasukan Pejeng bersenjata lengkap mengurung Puri Pejeng. Sekeliling Puri Pejeng dibakar oleh pasukan Pejeng sendiri. I Gusti Ngurah Jelantik lalu me­merintahkan pasukannya agar menerobos blokade pasukan Pejeng. Terjadilah pertempuran sengit. I Gusti Ngurah Jelantik dangan keris pusakanya menyerang pasukan Pejeng. Pertempuran ini berlangsung sampai fajar menyingsing. Karena memakan waktu cukup lama, pertempuran itu sampai di tengah sawah di sebelah Selatan Pejeng. Dalam pertempuran ini temyata adik dari I Gusti Ngurah Jelantik bernama I Gusti Ngurah Made gugur. Akhimya bantuan pasukan dari Gianyar tiba di bawah pimpinan putra mahkota Gianyar.
"I Dalam Lontar Eka Pratama disebutkan bahwa Pandita Bodha (ejaannya memang Bodha, bukan Buddha. Kalau Buddha itu nama agama) merupakan saudara dari tiga pandita yang disebut Sang Katrini Karon. Dua pandita lainnya yakni Pandita Siwa dan Pandita Bujangga. Ketiga pandita ini dinyatakan lahir dari Sang Brahma Aji. Yang dimaksud Sang Brahma Aji adalah ilmu pengetahuan suci yang berasal dari Tuhan. Ilmu pengetahuan itu adalah Veda. Jadi, apakah Brahmana Buddha (yang leluhurnya disebut beragama Buddha) sama dengan Pandita Bodha, perlu diteliti lebih lanjut.-Penyunting.
Keturunan Gde Pasar Badung diangkat menjadi Bandesa di Desa Kayuan (Karangasem). Sebab itu ia disebut Bandesa Kayuan. Entah berapa lama ia menjadi Bandesa di Desa Kayuan, ia lalu menurunkan dua anak laki-perempuan. Yang sulung perempuan bernama Luh Kayuan. Adiknya laki-laki bernama De Kayuan. Selagi jejaka, De Kayuan meninggal dunia. Bandesa Kayuan sangat sedih hatinya, karena ditinggalkan oleh anaknya yang laki-laki. Jenazahnya sudah diupakarakan sebagaimana mestinya. Kemudian datang di Bali seorang brahmana Buddha dari pasraman dalam Wanakeling, Madura. Brahmans yanL sedang melakukan dharma wisata itu bernama Danghyang Kanaka. Di dalam perjalanannya keliling Bali, pads suatu hari sampailah beliau di Desa Kayuan. la lalu beristirahat di depan rumah Bandesa Kayuan.
Ketika Bandesa Kayuan keluar rumah, ia menjumpai seseorang sedang istirahat di depan rumahnya. Ketika ditanya, orang itu menjawab bernama Danghyang Kanaka, berasal dari Pasraman Wanakeling, Madura. Danghyang Kanaka menjelaskan, bahwa beliau datang ke sana di dalam perjalanannya berdarma wisata ingin mengetahui keadaan sebenarnya. Danghyanag Kanaka juga menjelaskan, Pulau Bali sangat terkenal keindahannya. Bandesa Kayuan lalu mempersilakan Danghyang Kanaka memasuki rumahnya. Bagi Danghyang Kanaka, rumah itu terasa.
I Gusti Ngurah Jelantik di Puri Pejeng pads malam perkawinan tersebut Tatkala hari mulai gelap. Ada yang Sedang mandi tiba-tiba mendadak s mengurung Puri Peje pasukan Pejeng merintahkan pasukan Terjadilah pertemp keris pusakanya berlangsung sampai cukup lama, perte Selatan Pejeng. Ngurah Jelantik bantuan pasukan mahkota Gianyar.
Sunyi. Danghyang Kanaka lalu bertanya mengapa rumah Bandesa terasa sunyi. Danghyang Kanaka juga melihat Bandesa Kayuan memendam kesedihan. Bandesa Kayuan lalu menjelaskan, bahwa memang benar rumahnya terasa sunyi dan is dalam keadaan sedih akibat anaknya yang laki-laki meninggal dunia saat masih jejaka. Yang masih hidup adalah anaknya yang perempuan saja bernama Luh Kayuan. Yang juga menyedihkan, Bandesa Kayuan sudah lanjut umur sehingga tidak mungkin lagi menurunkan parati santana. Danghyang Kanaka lalu bertanya apakah Bandesa Kayuan menginginkan keturunan lagi. Bandesa Kayuan menjawab, memang demikian keinginannya. Oleh sebab itu, Luh Kayuan lalu dikawini oleh Danghyang Kanaka. Mereka mengadakan upacara perkawinan di rumah Bandesa di Desa Kayuan.
Kemudian dari perkawinannya ini, lahir dua orang anak laki-laki. Yang sulung diberi nama Pangeran Mas, dan adiknya Pangeran Wanakeling. Pangeran Mas lalu diserahkan kepada Bandesa Kayuan sebagai keturunannya. Sedang Pangeran Wanakeling diajak kembali ke Wanakeling di Madura. Sebelum berangkat, Danghyang Kanaka berpesan kepada Bandesa Kayuan, supaya desa tersebut mulai saat itu diganti namanya menjadi Kayumas. Sedang Pangeran Mas sesudah menggantikan kedudukan sebagai bandesa, bergelar Bandesa Kayumas. Lama-kelamaan setelah Mpu Asthapaka (penganut agama Bud­dha) datang di Bali dan bertempat tinggal di Desa Kayftas (Karangasem), Desa Kayumas kem'udian diubah namanya menjadi Desa Budakeling. Nama itu diabadikan sebagai kenangan bahwa beliau berasal dari Keling yang memeluk agama Buddha. Sekarang keturunan Mpu Asthapaka disebut Brahmans Buddha.I II
Pada tahun aka 1768 (tahun 1846 M) yang berkuasa di Pejeng adalah Cokorda Pinatih. Salah seorang putrinya dipinang oleh I Dewa Manggis Dhirangki, Raja Gianyar untuk dijadikan istri. Namun pinangannya ini ditolak. I Dewa Manggis Dhirangki menjadi sangat march. Panglima pasukan Gianyar I Gusti Ngurah Jelantik XVIII mohon izin kepada Raja Gianyar untuk menggem­pur Pejeng. Permohonan ini disetujui Raja Gianyar. Sebab itu I
Pada masa pemerintahan I Dewa Ketut Ngulesir sebagai Dalem Gelgel dengan gelar Sri Smara Kapakisan yang dinobatkan pada tahun Qaka 1302 (tahun 1380 M) dan memerintah sampai dangan tahun gaka 1382 (tahun 1460 M), I Gusti Tangkas diangkat sebagai Anglurah di Kerthalangu bergelar I Gusti Pangeran Tangkas. la mempunyai seorang anak laki-laki bernama I Gusti Tangkas Dhimadya alias I Gusti Keluwung qakti. Sayang, anaknya ini tidak bisa membaca. Kebodohannya itu ternyata berakibat fatal.
Pada suatu hari, Dalem Gelgel mengirim surat kepada I Gusti Pangeran Tangkas. Surat itu dibawa oleh seseorang yang dinyatakan bersalah. Surat itu isinya antara lain bahwa si pembawa surat hares dihabisi jiwanya oleh I Gusti Pangeran Tangkas. Na­mun setibanya perutusan dari Gelgel itu di Kerthalangu, I Gusti Pangeran Tangkas tidak ada di rumah karena sedang berpikat (mencari burung). Lalu surat tersebut diberikan kepada I Gusti Tangkas Dhimadya. Dan si pembawa surat tadi, kembali ke Gelgel. Pembawa surat itu yang direncanakan oleh Dalem Gelgel untuk dibunuh akhimya terhindar dari mala petaka. Sebaliknya, I Gusti Tangkas Dhimadya menemui nasib malang. Akibat beta huruf, akhirnya menjadi korban pembunuhan di tangan ayahnya sendiri. Sebab di dalam surat itu disebutkan siapa yang menyerahkan surat An supaya dibunuh. Loyalitas I Gusti Pangeran Tangkas terhadap Dalem tampaknya tanpa perhitungan, sampai mengorbankan anaknya tanpa doss. Peristiwa itu menyebabkan I Gusti Pangeran Tangkas putus asa. Selain menyadari kekeliruannya, ia jugs menyalahkan kekeliruan Dalem Gelgel. Akibat perintah surat yang nahas itu.
Jenazahnya diselenggarakan oleh seperti permintaan I Gusti  Dari perkawinan Kyayi Gusti Luh Tangkas Kori Agung, 1 masing bemarna Pasek Pang Tangkas Kori Agung, Pasek Pangeran Tangkas akhirnya kehilangan anak satu-satunya sebagai ahli waris. Oleh karena itu, ia tidak mau menghadap Dalem ke Gelgel. Dalem Gelgel tampaknya mengerti perasaan Pangeran Tangkas. Dalem juga merasa keliru dan kurang hati-hati. Untuk menghibur bawahannya itu, I Gusti Pangeran Tangkas dianugerahi seorang istrinya yang sudah hamil dua bulan. Pesan Dalem, anak yang akan dilahirkan itu agar diangkat sebagai ahli waris dan ibunya diperkenankan dipakai istri. Nama anak yang bakal lahir itu supaya ditambah dangan Kori Agung.
Sesudah cukup umur kandungan tersebut lahir seorang anak perempuan, lalu diberi nama Ni Luh Tangkas Kori Agung. Setelah dewasa, Ni Luh Tangkas Kori Agung dikawini oleh Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Sebelum perkawinan ini dilangsungkan, ada permintaan I Gusti Pangeran Tangkas. Oleh karena ia tidak lagi mempunyai keturunan, maka apabila ia meninggal dunia, agar upacara jenazahnya diselenggarakan oleh Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. hka dari perkawinannya ini melahirkan putra, supaya diberikan nama Pasek dan Bandesa Tangkas Kori Agung, agar tidak terputus hubungannya dangan para leluhur. Sebab I Gusti Pangeran Tangkas memiliki ibu dari Pasek Bandesa. Selain itu, I Gusti Pangeran Tangkas menyerahkan rakyat berjumlah 200 kepala keluarga dan harta benda kekayaannya kepada Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Namun permintaan I Gusti Pangeran Tangl~A5 ini belum disanggupi oleh Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel, karena masih akan dibicarakan dan minta persetujuan sanak saudara Ki Pasek sekalian.
Sesudah permintaan I Gusti Pangeran Tangkas tersebut disetujui oleh Ki Pasek semua, maka terjadilah perkawinan antara. Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dangan Ni Luh Tangkas Kori Agung. Setelah kawin Ni Luh Tangkas Kori Agung ikut pads suaminya yaitu Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel di purinya di Gelgel dan bukan di Desa Tangkas. Ini dilakukan sesuai dangan hukum yang berlaku yakni mengikuti purusa (pihak laki). Seluruh rakyat dan harta benda kekayaan I Gusti Pangeran Tangkas sejak itu menjadi milik Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Kemudian Pasek Tangkas Kori Agung. tidak lagi mempunyai ke Agung, maka keempat pu Pangeran Tangkas di Desa dan memelihara Pura T (nyungsung) Pura Kawitan (Maha Gotra Pasek S Parhyangan (Pura Le Dasar Bhuwana Gelgel Ada perintah Kyayi putranya demikian: "A (leluhur) di Pura Tegeh tepi sungai Unda, ini bernama Ki Pasek T Kori (Kori Agung) dan wara. Sungsang, dan kan upacara Sugi diingat dan ditaati prasasti Kawitan ikut dengan Pasek Dasar Bhuwana Lempuyang M Kawitan (leluhur jangan sampai kamu miliki dan piagam tersebut tinggal sanak suci para.
Sesudah I Gusti Pangeran Tangkas meninggal dunia, upacara jenazahnya diselenggarakan oleh Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel seperti permintaan I Gusti Pengeran Tangkas dahulu.
Dari perkawinan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dangan Ni Luh Tangkas Kori Agung, lahirlah empat orang putra, masing­masing bernama Pasek Pangeran Tangkas Kori Agung, Bandesa Tangkas Kori Agung, Pasek Bandesa Tangkas Kori Agung dan Pasek Tangkas Kori Agung. Oleh karena I Gusti Pangeran Tangkas tidak lagi mempunyai keturunan kecuali Ni Luh Tangkas Kori Agung, maka keempat putranya itu ditempatkan di puri I Gusti Pangeran Tangkas di Desa Tangkas. Di sana mereka ngemong dan memelihara Pura Tangkas, di samping ikut memuja (nyungsung) Pura Kawitan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) lainnya yaitu Cater Parhyangan (Pura Lempuyang Madya, Ratu Pasek di Besakih, Dasar Bhuwana Gelgel. dan (~ilayukti).
Ada perintah Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel kepada keempat putranya demikian: "Agar kamu tact memuja (nyungsung) Kawitan (leluhur) di Pura Tegeh Kori (Kori Agung) di Desa Tangkas di tepi sungai Unda, ini selalu harus ditaati oleh anak-anakku yang bernama Ki Pasek Tangkas. Yang dipuja di sana ialah Ratu Tegeh Kori (Kori Agung) dan piodalannya jatuh pada hari Jumat Keliwon, wara Sungsang, clan kamu Pasek Tangkas harus menyelenggara­kan upacara Sugimanik dua kali, semuanya itu supaya selalu diingat clan ditaati Berta semuanya itu suclah dimuat di dalam prasasti Kawitan (leluhur). Kecuali itu Pasek Tangkas juga harus ikut dengan Pasek Gelgel memuja Ratu Pasek di Besakih, di Pura Dasar Bhuwana Gelgel, gilayukti di Padang, terutama di Pura Lempuyang Madya. Keturunanku juga harus memiliki piagam Kawitan (leluhur) yakni prasasti atau pabancangah sebagai obor, jangan sampai nantinya kamu kehilangan suluh, semua itu harus kamu miliki clan ditaati sampai di kelak kemudian hari. Di dalam piagam tersebut harus senantiasa dicantumkan nama dan tempat tinggal sanak sauclaramu yang diajak bernama-lama memuja arwah suci para leluhur, supaya seluruh keturunanmu selalu ingat dangan langan anak satu-satunya sebagai tidak mau menghadap Dalem ko, iN a mengerti perasaan Pangeran chru dan kurang hati-hati. Untuk isti Pangeran Tangkas dianugerahi nil dua bulan. Pesan Dalem, anak dianakat sebagai ahli waris dan istri. Nama anak yang bakal lahir Tangkas Kori Agung. tersebut lahir seorang anak Luh Tangkas Kori Agung. Setelah , dikawini oleh Kyayi Gusti) perkawinan ini dilangsungkan, ada . an2kas. Oleh karena ia tidak lagi apabila ia meninggal dunia, agar .arakan oleh Kyayi Gusti Agung iannya ini melahirkan putra, supaya ndesa Tangkas Kori Agung, agar organ para leluhur. Sebab I Gusti U dari Pasek Bandesa. Selain itu, I a\ crahkan rakyat berjumlah 200 a kekayaannya kepada Kyayi Gusti ,rmintaan I Gusti Pangeran Tangkas i Gusti Agung Pasek Gelgel, karena tinta persetujuan sanak saudara.

2.2       Silsilah keluarga pengompon Tangkas Kori Agung di Nagaspha
Sejarah kawitan Tangkas Kori agung yang brada di desa Nagsepaha Pertama kali di empon oleh tiga puruse  yaitu Wayan Ruci, Pan sasih dan Pan Kandel.
Keturunan pengempon merajan yang pertama:
1.         Wayan Ruci
Wayan Ruci memiliki  8 anak 5 Putra dan 3 putri di antaranya
1)      Pan Liu
2)      Made Saje
3)      Gede Kentel
4)      Made Pias
5)      Nyoman kintan
6)       Ketut  Sayang
7)      Luh Santep
8)      Pan Singgih


2.        Pan Sasih
            Pan  Sasih memili  4 putra di antara nya;
1)       Wayan Tantri
2)       Made Raka
3)       Nyoman  Sada
4)       Ketut De

3.         Pan Kandel
             Pan Kandel memiliki 3 putra diantaranya
1)      Jro Dalang
2)      Made Gampil
3)      Wayan Wikan .

Saya termasuk keturunan dari Wayan Tantri anak Pertama dari Pan Sasih. Wayan Tantri memiliki 3 Putra dan 2 Putri di antaranya ;
1)      Luh Tantri
2)      Nengah Tantra
3)      Nyoman Sumandra
4)      Ketut Mandri
5)      Ketut Pepek
Saya termasuk Cucunya dari I Nengah Tantra Anak dari I Wayan Sukada.

2.2       Nama, dan Banten dalam Pelinggih

2.2.1    Taksu Gumi
Taksu  gumi adalah Taksu yang berbentuk menyerupai Jero gede dimana taksu tersebut di bangun dengan atap dan rong satu disanalah istana sang raja kala, yang memberikan sebuah kewibawaan pada pelinggih, banten yang di haturkan pada pelinggih taksu gumi adalah. Tipat gong.adapun ukuran asta kosala kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu  :Panjang 3,5 Lebar 4,5.

2.2.2    Taksu Prit
Taksu  perit merupakan taksu yang terbuat dari kayu memiliki rong satu  taksu tersebut di bangun dengan atap dan rong satu disanalah istana sang raja kala, yang memberikan sebuah kewibawaan pada pelinggih, banten yang di haturkan pada pelinggih taksu perit adalah canang ajengan.adapun  ukuran asta kosala kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu  :Panjang  4,5, Lebar 4,5.

2.2.3    Dewa Ayu Pesaren
           
           
Bangunan suci ini menyerupai  bangunan kemulan hanya memiliki dua ruangan atau ( rong ) kanan dan kiri. Dimasyarakat hindu kususnya  di Bali bangunan ini di beri nama bermacam-macam sesuai dengan loka dresta, ada yang menamakan linggih hyang kompiang, ada yang menyebutkan linggih bhataara hyang, dan ada juga yang memberi sebutan pelinggih kawitan. Sesungguhnya m,aksud dari semua penyebutan nama tersebut adalah benar yaitu memiliki maksud dan tujuan bahwa pada bangunan suci tersebut adalh merupakan  stananya para rokh-rokh suci dari suatu clan. Bangunan suci ini tidak pada semua Pemertajan umat Hindu ada, ada umat yang membuat bangunan ini dan ada juga yang tidak.
Canang yang di haturkan pada pelinggih Dewa Ayu Pesaren Adalah Canang ajengan dan tipat bekelan adapun  ukuran asta kosala kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu  :Panjang  4,5, Lebar 6,5.
2.2.4    Maje Lengke

Palinggih Maja lengke yang ada di merajan  merupakan pelinggih penyawangan  di pure Maja lengka , banten yang di haturkan  di pelinggih maje lengke adalah canang ajengan adapun  ukuran asta kosala kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu  : Panjang  6,5, Lebar 4,5.

2.2.5    Tiga Sakti (Rong Tiga)
           
a)      Menurut lontar usana dewa
Disanggah kembulan adalah Ide Sanghyang atma, di sebelah kanan adalah ayah dalam paramatma dan sebelah kiri adalah Ibu sebagai siwatma dan ditengah adalah tribrahma yang menjadi Ibu dan Ayah berbadan Sanghyang tubuh.
b)        Menurut Lontar Gong wesi 
Dibagian kanan ayah adalah sang paratma dan sebelah kiri adalah Ibu sebagai siwatma dan ditengah adalah menjadi satu dan disebut sanghyang tunggal.
c)      Menurut Lontar purwa bumi  
Jika setelah selesai melakukan Pitra Yadnya, maka wajib mendak nuntun Dewa Pitra dan distanakan di sebelah kanan laki-laki sedangkan untuk dewa pitra yang wanita sebelah kiri, itulah yang disebut stana leluhur.
d)     Menurut Lontar Purwa bumi kamulan jika setelah melaksanakan sebuah upacara pitra yadnya tidak melakukan pendak tuntun dewa pitra maka sang leluhur tersebut tidak mendapatkan tempat. Inilah yang akan menyebabkan leturunannya sakit tidak ada habisnya dan tidak akan bisa disembuhkan dengan obat apapun sebelum pitranya mendapatkan tempat yang tetap.

2.2.5.1 Hubungan Tri Rna Dengan Ngelinggihang di Rong Telu
Tri Rna dengan ngelinggihang Roh orang yang meninggal adalah untuk  Melaksanakan kewajiban anak yang suputra untuk melakukan proses penyucian roh leluhurnya dengan melaksanakan upacara Ngaben (Sawa Wedana), upacara Atma Wedana, upacara Nuntun Dewa Hyang serta melakukan sembah bakti dengan memperingati Pujawali Dewa Hyang serta Ibu Kawitan. Dengan melaksanakan kewajiban tersebut maka sang roh merasa berbahagia , untuk membahagiakan roh leluhur atau pitara perlu dipersembahkan tarpana, upacara pujawali dewa hyang bagi roh yang sudah menjadi dewa pitara, dll.

2.2.5.2 Hubungan Karma Dengan  Ngelinggihang Atma di Rong Telu
Ketika masih hidup: tubuh dibersihkan dengan air; pikiran dibersihkan dengan kejujuran; jiwa dibersihkan dengan ilmu dan tapa (tapa = usaha untuk mengendalikan nafsu dan jasmani); akal dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Setelah meninggal dunia, melalui upacara Ngaben, atma dilepaskan dari bungkusan pertama, yaitu ikatan Stula Sarira (Panca Mahabuta), dan melalui upacara Nyekah, atma dilepaskan dari bungkusan kedua, yaitu ikatan Suksma Sarira (Panca Tanmatra). Setelah atma dilepaskan dari bungkusan pertama dan kedua, atau dibebaskan dari kedua ikatan yaitu Panca Mahabuta dan Panca Tanmatra (Tanmatra = tidak kelihatan, tetapi dapat dirasakan) maka tinggalah Panca Karmaindria atau Karma Wasana, yaitu:
  1. Padaindria: karma wasana karena langkah kaki.
  2. Payuindria: karma wasana karena makanan.
  3. Panenindria: karma wasana karena gerakan tangan
  4. Upastenindria: karma wasana karena kehidupan sex
  5. Wakindria: karma wasana karena ucapan perkataan yang keluar dari mulut dan karma wasana karena pemikiran.
Karma Wasana terus melekat pada atman, dan pada waktu upacara Mepaingkup, Karma Wasana inilah yang dinilai oleh Ida Sanghyang Parama Kawi untuk menetapkan kehidupan atman selanjutnya, apakah ber-reinkarnasi atau menyatu dengan-Nya.
Pemahaman ini dapat digambarkan sebagai berikut:
PANCA MAHABUTA
PANCA TANMATRA
PANCA KARMENDRIA
Pertiwi
Apah
Teja
Bayu
Akasa
Ganda Tanmatra
Rasa Tanmatra
Rupa Tanmatra
Sparsa Tanmatra
Sabda            Tanmatra
Padendria
Payundria
Panendria
Upastendria
Wakindria
Musnah ketika Ngaben
Musnah ketika Nyekah
Sisa = Karmawasana





2.2.5.3 Hubungan Moksa Dengan Ngelinggihang di Rong Telu
Moksa tidak hanya memiliki arti bersatu dengan Brahman , Di dalam kitab suci Weda dijelaskan tujuan agama sebagai tercantum dalam sloka “MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH” yang artinya bahwa tujuan agama atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita dan moksa. Moksa juga disebut Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng di akhirat. Jagadhita juga disebut bhukti yaitu kemakmuran dan kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara.
Seorang yang meninggal tidak selalu bersatu dengan Tuhan atau moksa, namun ada pula yan breinkarnasi dan ada juga sang atman menjadi pelayan tuhan untuk selamanya,serta menjadi dewa hyang sehingga diperlukan lagi pujawali di pemerajan kususnya di rong telu dengan mempersembahkan yadnya. Sedangkan Atma yang tidak moksa ia masih berada di alam pitara . didalam alam pitara yang menjadi penderitaan adalah kelaparan dan kehausan sehingga untuk membahagiakan roh tersebut diperlukan persembahan berupa makanan dan minuman di rong telu maupun di pemerajan atau kamulan oleh anak cucu. Yang di Puja bukan semata-mata orang yang meninggal tetapi adalah Atman orang yang telah meningal yang sudah hampir memiliki sifat kedewaan. Pitara yang ada di Alam Dewa memiliki tingkat kehidupan yang lebih tinggi daripada manusia dan mempunyai sebagian sifat-sifat kedewaan, sifat-sifat ketuhanan. Pitara diharapkan mampu memberikan anugrahnya dalam menjaga keharmonisan dunia pada umumnya dan keluarga leluhur yang bersangkutan pada khususnya.
Kemulan adalah Tempat bersemayam Para Leluhur yang telah di Aben, Beliau bersentana di Kemulan sesuai dengan segala perbuatan dan apabila pada saatnya Atma harus reinkarnasi maka Atma akan Reinkarnasi kepada penerusnya.
Jangka waktu reinkarnasi tidak secepat yang kita bayangkan, didalam dharmasastra disebutkan bahwa orang yang hidup di jaman kali yang berperilaku buruk akan lahir menjadi binatang atau tumbuh-tumbuhan di jaman satya yuga setelah penciptaan kembali alam semesta.
Bangunan Suci Rong Tiga, Penamaan ista dewatanya pada bangunan suci kembulan sesuai dengan sumber-sumber sastra yang ada, adalah merupakam manifestasi Sanghyang widhi setelah bernabifestasi memberi kekeuatan pada jalan simpang tiga (marga tiga) yaitu dengan swabawa” Sanghyang sapuh jagad”,beliau bermanifestasi kepemerajan yaitu pada bangunan suci kemulan dengan swabhawanya sebagai” sanghyang guru suksma”.Sanghyang guru suksma memiliki kemahakuasaan Trimurti, yaitu dengan manifestasiNYA Brahma, bermanifestasi lagi sebagai” sanghyang Sri Guru dengan swabawanya,  banten yang di haturkan  di kembulan rong tige adalah Penek. adapun  ukuran asta kosala kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu  : Panjang  7,  Lebar 3.


2.2.6    Surya
Surya sebuah bangunan untuk memuja sang hyang surya raditya sebagai saksi segala kegiatan manusia khususnya ritual yadnya. Dalam lontar sivagama gelar surya raditya adalah gelar dari dewa surya atas anugrah dari dang guru (dewa siva). Karena bakti dan kepandaian beliau. Hyang surya diberikan anugrah sebagai upasaksi segala kegiatan manusia dan pemberi cahaya, pemusna segala kegelapa. (Wiana dalam Wikarman, 1998: 12 dalam Gunawan 2012:22) Dari uraian ini tampak jelas ada pengaruh sekte sora (surya) dalam pedrian pelinggih surya.  Dan banten yang dihaturkan banten pejatian. Adapun ukuran astakosala-kosali. Panjang 7,  Lebar 8, 5.

2.2.7    Gagelang

Gagelang merupakan pelinggih penyawangan, sejarah penyawangan pelinggih ini tidak diketahui dan sudah di terima dari dahulu seperti itu. pada saat odalan banten yang digunakan canang sari, peras. Adapun ukuran astakosala-kosali: Panjang 3, Lebar 4, 5.

2.2.8   Taksu

Bangunan ini juga berbentuk Gedong tapi dua macam, yang pertama ; Gedong bertiang empat sekepat (saka empat) beruang dua ( rong dua ). Macam yang ke dua gedong juga hanya memiliki tiang pendek ( saka pandak ) di depanya , ruangnya satu ( Rong tunggal) namun saka pandak itu sudah memberikan arti dua ruangan ( rong dua )
Mengenai kata taksu, masyarakat hindu sebagian besar masih memiliki pengertian dan persepsi yang masi sempit, umpamanya kalau di anggota keluarga tidak ada yang jadi penari, pedalangan, dukun dan sebagainya  dianggap tidak perlu memiliki pelinggih taksu. Menurut sumber ajaran agama hindu sesungguhnya tidak demikian melainkan taksu tersebut bersifat unifersal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat. Setiap manusia memiliki propesionaliti. Dan ukuran astakosala-kosali: Panjang, 3,  Lebar, 3.

2.2.9    Gunung Agung
           
Pelinggih Gunung agung yang berada di merajan merupakan penyawangan ke gunung agung dimana pada saat odalan pelinggih tersebut dihaturkan cang ajengan. Dan ukuran astakosala-kosali: Panjang, 3,  Lebar, 3.

2.2.10 Puseh
Pelinggih puseh yang berada di merajan merupakan penyawangan ke pelinggih puseh yang ada di Desa, di dalam pelinggih puseh terdaapt kristalisasi sekte Waisnawa kedalam sekte siva siddhanta, pura puseh merupakan setana dewa wisnu yang berarti sekte waisnawa. Dimana pada saat odalan pelinggih tersebut dihaturkan cang ajengan. Dan ukuran astakosala-kosali: Panjang, 3, Lebar, 3.

2.2.11  Tampul lawang
           
           
Pelinggih ini merupakan pelinggih penyawangan, adapun banten yang dihaturkan pada saat odalan ajengan dan canang sari. Dan ukuran astakosala-kosali: Panjang, 3, Lebar, 4,5.

2.2.12  Majang Sakaluang
Bentuk bangunan suci manjang sakeluang adalah gedong juga hanya memiliki tiang (sake) lima buah saka yang di belamang dua buah dan tiga buah di depannya. Tiang yang depannya, dua tiang di kanan kirinya lebih pendek sehingga kaki kedua tiang tersebut tidak berpijak pada dasarnya (mengambang).
Di depan bangunan, tepat pada tiang di tengah diisi sebuah simbul berupa kepala binatang menjangan, hal inilah yang sering menjadi pertanyaan dikalangan masyarakat Hindu yang paling kami khawatirkan adalah kesalahan persepsi dari kalangan umat Hindu tentang sembil tersebut, yaitu dipersepsikan. Umat Hindu menyembah binatang menjangan. Oleh karna itu kami brusaha dan merasa terpanggil dalam hal pengentasan kemiskinan spiritual dari para umat hindu untuk itu kami mencoba memberikan penjelasan sebagai informasi melalui penulisan.
Pelinggih ini merupakan stana dari Mpu Kuturan dengan bhiseka Limas pahit, Penyebar dan penyempurnaan agama Hindu di Bali abad ke-10, bentuk palinggih ini berisi kepala menjangan lengkap dengan tanduknya. Yang di persembahkan kepada pelinggih Manjangan sdalwang adalah Canang Ajengan.
Banten yang di persembahkan kepada betara yang melinggih di pelinggih Sake Manjang  Sakeluang adalah Canang Ajengan. . adapun  ukuran asta kosala kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu  : Panjang  3,5, Lebar 4.

2.2.13  Bagus Tangkid
Pelinggih Bagus Tangkid yang terdapat di merajan adalah penyawangan di pura tangkid. Dimana pada saat piodalan di mrajan   kami melakukan penyawangan saja, canang yang di persembahkan kepada betara yang beristana di pelinggih tersebut adalah Canang ajengan adapun  ukuran asta kosala kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu  : Panjang  3,5, Lebar 4,5.

2.2.14 Bagus Bulia
           
Pelinggih Bagus Bulian yang ada di sanggah kami adalah Penyawangan di pura bulian dimana pada saat piodalan kami ngayat dari mrajan / nyawang  canang yang di persembahkan kepada betara yang beristana di pelinggih tersebut Tipat Gong. adapun  ukuran asta kosala kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu  : Panjang  3,  Lebar 3.

2.2.15  Dewe bagus Balang.
           
           
Dewe bagus Balang merupakan dewe penyawangan dimana pada saat odalan  banten yan di haturkan adalah canang peras . adapun  ukuran asta kosala kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu  : Panjang  4,5,  Lebar 4,5.

2.2.16  Pangurah agung / piasan
Pangrurah Agung sejenis dengan piasan atau bale paruman ini merupakan stana bhatara dan bhatari, ketika di persebahkan piodalan atau ayaban jangkep. Dan dapat pula di artikan sebagai piyasan karena pralingga-pralingga dihiasi ketika dilinggihkan.  Bale   pangurah agung letaknya di jeroan, pada saat odalan jro mangku dan pengenter acara berada disana  dan banten-banten  yang di persembahkan  di letakkan di bale pangurah agung. Tempat ini bisa di katakan sebagai bale banten. Banyak banten yang di gunaakn pada saat odalan.

2.2.17  Kembulan Rong Dua
           
Rong dua, sebuah bangunan suci yang beruang dua tempat memuja leluhur dalam wujud purusa  dan pradana tempat ini pula untuk menghaturkan “sodaan “. Perssembahan berupa banten kepada leluhur. Tempat ini berfungsi untuk  memuja leluhur yang telah menurunkan trah / keturunan secara langsung, misalnya , kakek,nenek,paman, bibik ,buyut yang telah meninggal ada sedikit perbedaan antara fungsi rong due dengan rong tiga, dimana rong dua tempat memuja roh leluhur yang belum mencapai kualitas dewata, belum di aben. Sedangkan rong tiga adalah tempat memuja roh leluhur yang telah mencapaikualitas dewata , telah di sucikan dengan upacara ngaben dan posisinya secara niskala beliau sudah setara dengan batara guru.

2.2.18 Pangrurah
Jro Gede merupakan kristalisasi sekte Ganapatya, yang disebut sebagai dewa Ganesha yang merupakan tempat bersthananya dewa Gana, dinama sekte dari Ganapatya berfungsi sebagai penjaga dan pelindung (Gunawan. 2012 : 19). Banten yang biasanya dihaturkan yaitu Tipat Gong.

2.2.19 Gedong Penyimpenan
           
            Gedong Penyimpenan, difungsikan sebagai menyimpan pralingga atau pratima Ida Bhatara yang disungsung disanggah saya. Dan tempat menyimpat wastran pelinggih.



2.2.20  Balai Paruman
Balai paruman ini biasanya digunakan pada saat mengadakan rapat atau sangkep. Balai ini terletak di jaba tengah.


2.2.21  Lebuh
            Pelinggih ini adlah tempat untuk memuja yang memiliki pekarangan yang ditempattinggali dalam tataran niskala. Secaaara kepercayaan masyarakat hindu yang berstana di sana adalah Hyang Ibu Pertiwi (Dewi Sri). (Gunawan, 2012: 22).




BAB III PENUTUP
Simpulan
            Dalam pelinggih saya terdapat penyatuan sekte-sekte kedalam sekte siva siddhanta bila dikaitkan dengan yang di sungsung. Banyaknya bangunan pelinggih karena bangunan penyawangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar