SIVA
SIDDHANTA II
KRISTALISASI SIVA
SIDDHANTA DALAM SANGGAH MERAJAN DADIA “PASEK TANGKAS KORI AGUNG
DESA NAGASEPAHA”
Dosen Pengampu: I
Ketut Pasek Gunawan, S.Pd.H
OLEH :
NAMA : NI
LUH PUTU ASTINI
NIN :
10.1.1.1.1.3865
PRODI : PAH /V.B
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA
FAKULTAS
DHARMA ACARYA
INSTITUT
HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
|
I. PENDAHULUAN
Merajan atau sanggah dalam sebuah
keluarga Hindu di Bali adalah sebuah tempat suci, yang berdasarkan kosep Tri
Angga, Tri Mandala, dan juga Tri hita Karana. Merupakan sebuah tempat untuk
memuja tuhan dan juga roh leluhur .
Dasar dari Tri Angga, Mrajan adalh sebuah
tempat utama seperti ibaratnya kepala manusia. Genah Madianya adalah rumah itu
sendiri yang ibaratkan badan manusia, nista angganya adalah perkebunan atau
pekarangan itu sendiri, dan juga tempat mandi itu juga seperti badan kita
sendiri. Tri Angga itulah yang tidak boleh pisah dari struktur badan manusia,
seperti kepala, badan dan juga kaki.
Dasar
dari Tri Mandala itu sendiri adalah Mrajan sebagai utamanya, sdangkan keluarga
adalah Madyanya, dan nistanya adalah pakarangan itu sendiri, jika tempat suci,
mesti mengikuti sebuah aturan dimana arahnya adalah timur atupun utara, kaje
kangin, timur laut jika arah timur laut di anggap kurang memadai untuk sebuah
bangunan suci, karena alasan seperti tempatnya agak pendek, di hujani air
cucuran tetangga, dan juga terdapat sebuah tempat yang kurang enak dalam segi
kebersihan, maka tempat tetrsebut dapat ditinggikan menjadi Mrajan.
Dasar
Tri Hita Karana juga berbicara dalam merajan ini, Mrajan adalah sebuah tempat
dimana Prahyangan tempat untuk memuja tuhan dan juga roh leluhur menjadi satu,
selain dari satu keselarasan antara orang yang tinggal dan lingkungannya juga.
Di perlukan sebuah tempat untuk melakukan sebuah sinergisme ke atas yang dalam
hal ini berhubungan dengan Tuhan yang maha esa
Singkat
katanya, Mrajan adalah sebuah tempat suci yang brada di setiap lingkungan
keluarga untuk memuja kebesaran Tuhan dan juga roh leluhur.
II. PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Kawitan Tangkas Kori Agung
Keturunan
Gede Pasar Badung diangkat menjadi Bandesa di Desa Kayuan (Karangasem). Sebab
itu ia disebut Bandesa Kayuan. Entah berapa
lama ia menjadi Bandesa di Desa Kayuan, ia lalu menurunkan dua anak
laki-perempuan. Yang sulung perempuan
bernama Luh Kayuan. Adiknya laki-laki bernama
De Kayuan. Selagi jejaka, De Kayuan meninggal dunia. Bandesa Kayuan
sangat sedih hatinya, karena ditinggalkan oleh anaknya yang laki-laki. Jenazahnya sudah diupakarakan sebagaimana mestinya. Kemudian datang di Bali
seorang brahmana Buddha dari pasraman dalam Wanakeling, Madura. Brahmans
yanL sedang melakukan dharma wisata itu bernama Danghyang Kanaka. Di dalam
perjalanannya keliling Bali, pads suatu hari
sampailah beliau di Desa Kayuan. la lalu beristirahat di depan rumah
Bandesa Kayuan.
Ketika Bandesa Kayuan keluar rumah, ia
menjumpai seseorang sedang istirahat di depan rumahnya.
Ketika ditanya, orang itu menjawab bernama Danghyang Kanaka, berasal dari
Pasraman Wanakeling, Madura. Danghyang Kanaka menjelaskan, bahwa beliau datang
ke sans di dalam perjalanannya berdarma wisata ingin mengetahui keadaan sebenarnya. Danghyanag Kanaka jugs menjelaskan,
Pulau Bali sangat terkenal keindahannya.
Bandesa Kayuan lalu keturunan Gde Pasar Badung diangkat menjadi Bandesa di
Desa Kayuan (Karangasem). Sebab itu ia disebut
Bandesa Kayuan. Entah berapa lama ia menjadi Bandesa di Desa Kayuan, ia
lalu menurunkan dua anak laki-perempuan. Yang
sulung perempuan bernama Luh Kayuan. Adiknya laki-laki bernama De Kayuan. Selagi jejaka, De Kayuan
meninggal dunia. Bandesa Kayuan sangat sedih hatinya, karena
ditinggalkan oleh anaknya yang laki-laki.
Jenazahnya sudah diupakarakan sebagaimana
mestinya. Kemudian datang di Bali seorang brahmana Buddha dari pasraman
dalam Wanakeling, Madura. Brahmans yanL sedang melakukan dharma wisata itu
bernama Danghyang Kanaka. Di dalam perjalanannya keliling Bali, pads suatu hari sampailah beliau di Desa Kayuan. la
lalu beristirahat di depan rumah Bandesa Kayuan.
Ketika Bandesa Kayuan keluar rumah, ia
menjumpai seseorang sedang istirahat di depan rumahnya.
Ketika ditanya, orang itu menjawab bernama Danghyang Kanaka, berasal dari
Pasraman Wanakeling, Madura. Danghyang Kanaka menjelaskan, bahwa beliau datang
ke sans di dalam perjalanannya berdarma wisata ingin mengetahui keadaan sebenarnya. Danghyanag Kanaka jugs menjelaskan,
Pulau Bali sangat terkenal keindahannya.
I Gusti Ngurah Jelantik di Puri Pejeng pads malam perkawinan
tersebut, tatkala hari mulai gelap. Ada
yang Sedang mandi tiba-tiba mendadak s mengurung Puri Pejeng pasukan
Pejeng merintahkan pasukan Terjadilah pertemp keris pusakanya berlangsung cukup lama, perte Selatan Pejeng. Ngurah Jelantik bantuan pasukan mahkota Gianyar.
Danghyang Kanaka lalu bertanya mengapa rumah
Bandesa terasa sunyi.
Danghyang Kanaka juga melihat Bandesa Kayuan memendam
kesedihan. Bandesa Kayuan lalu menjelaskan, bahwa memang benar rumahnya terasa
sunyi dan is dalam keadaan sedih akibat
anaknya yang laki-laki meninggal dunia saat masih jejaka. Yang masih hidup
adalah anaknya yang perempuan saja bernama Luh Kayuan. Yang juga
menyedihkan, Bandesa Kayuan sudah lanjut umur sehingga tidak mungkin lagi
menurunkan parati santana. Danghyang Kanaka
lalu bertanya apakah Bandesa Kayuan menginginkan
keturunan lagi. Bandesa Kayuan menjawab, memang demikian keinginannya. Oleh sebab itu, Luh Kayuan lalu dikawini
oleh Danghyang Kanaka. Mereka mengadakan upacara perkawinan di rumah Bandesa di
Desa Kayuan.
Kemudian dari perkawinannya ini, lahir dua orang anak laki-laki.
Yang sulung diberi nama Pangeran Mas, dan adiknya Pangeran Wanakeling. Pangeran
Mas lalu diserahkan kepada Bandesa Kayuan sebagai keturunannya. Sedang Pangeran
Wanakeling diajak kembali ke Wanakeling di Madura. Sebelum berangkat, Danghyang Kanaka berpesan kepada
Bandesa Kayuan, supaya desa tersebut mulai saat itu diganti namanya
menjadi Kayumas. Sedang Pangeran Mas sesudah
menggantikan kedudukan sebagai bandesa, bergelar Bandesa Kayumas.
Lama-kelamaan setelah Mpu Asthapaka (penganut agama Buddha) datang di Bali dan
bertempat tinggal di Desa Kayftas (Karangasem),
Desa Kayumas kem'udian diubah namanya menjadi Desa Budakeling. Nama itu
diabadikan sebagai kenangan bahwa beliau
berasal dari Keling yang memeluk agama Buddha. Sekarang keturunan Mpu
Asthapaka disebut Brahmans Buddha.I II
Pada tahun aka 1768 (tahun 1846 M) yang berkuasa di
Pejeng adalah Cokorda Pinatih. Salah seorang putrinya dipinang oleh
I Dewa Manggis Dhirangki, Raja Gianyar untuk dijadikan istri. Namun pinangannya
ini ditolak. I Dewa Manggis Dhirangki menjadi
sangat march. Panglima pasukan Gianyar I Gusti Ngurah Jelantik XVIII mohon izin kepada Raja Gianyar
untuk menggempur Pejeng
Gusti
Ngurah Jelantik dangan pasukan pilihannya mendatangi Pejeng dan melakukan penyerbuan. Akan tetapi pihak lawan tidak melakukan perlawanan. Sebaliknya I Gusti Ngurah
Jelantik diterima dangan ramah tamah oleh Cokorda Pinatih serta dipersilakan masuk ke Puri Pejeng. Dengan kejadian
ini, I Gusti Ngurah Jelantik
berpendapat bahwa sengketa antara Pejeng dengan Gianyar tidak perlu
diselesaikan dangan kekerasan. Mengingat keramahtamahan
Cokorda Pinatih, sengketa ini dapat diselesaikan melalui perundingan.
I Gusti Ngurah
Jelantik dangan seluruh pasukannya lalu tinggal di Puri Pejeng pada malam hari
itu. Di sang dibahas tentang rencana perkawinan tersebut, untuk menghindari pertumpahan
darah. Tatkala hari mulai gelap, pasukan Belahbatuh
sedang beristirahat. Ada yang sedang
mandi dan ada yang beristirahat santai. Namun tiba-tiba mendadak sontak
pasukan Pejeng bersenjata lengkap mengurung Puri Pejeng. Sekeliling Puri Pejeng
dibakar oleh pasukan Pejeng sendiri. I Gusti
Ngurah Jelantik lalu memerintahkan
pasukannya agar menerobos blokade pasukan Pejeng. Terjadilah pertempuran
sengit. I Gusti Ngurah Jelantik dangan keris pusakanya menyerang pasukan
Pejeng. Pertempuran ini berlangsung sampai fajar menyingsing. Karena memakan
waktu cukup lama, pertempuran itu sampai di tengah sawah di sebelah Selatan
Pejeng. Dalam pertempuran ini temyata adik dari I Gusti Ngurah Jelantik bernama
I Gusti Ngurah Made gugur. Akhimya bantuan pasukan dari Gianyar tiba di bawah
pimpinan putra mahkota Gianyar.
"I Dalam Lontar
Eka Pratama disebutkan bahwa Pandita Bodha (ejaannya memang Bodha, bukan Buddha. Kalau Buddha itu nama agama) merupakan
saudara dari tiga pandita yang disebut Sang Katrini Karon. Dua pandita lainnya
yakni Pandita Siwa dan Pandita Bujangga. Ketiga pandita ini dinyatakan lahir dari Sang Brahma Aji. Yang dimaksud Sang
Brahma Aji adalah ilmu pengetahuan suci yang berasal dari Tuhan. Ilmu pengetahuan
itu adalah Veda. Jadi, apakah Brahmana Buddha (yang leluhurnya disebut beragama Buddha) sama dengan Pandita Bodha, perlu diteliti lebih lanjut.-Penyunting.
Keturunan Gde Pasar Badung diangkat menjadi Bandesa di Desa
Kayuan (Karangasem). Sebab itu ia disebut
Bandesa Kayuan. Entah berapa lama ia menjadi Bandesa di Desa Kayuan, ia
lalu menurunkan dua anak laki-perempuan. Yang
sulung perempuan bernama Luh Kayuan. Adiknya laki-laki bernama De Kayuan. Selagi jejaka, De Kayuan
meninggal dunia. Bandesa Kayuan sangat sedih hatinya, karena
ditinggalkan oleh anaknya yang laki-laki.
Jenazahnya sudah diupakarakan sebagaimana
mestinya. Kemudian datang di Bali seorang brahmana Buddha dari pasraman
dalam Wanakeling, Madura. Brahmans yanL sedang melakukan dharma wisata itu
bernama Danghyang Kanaka. Di dalam perjalanannya keliling Bali, pads suatu hari sampailah beliau di Desa Kayuan. la
lalu beristirahat di depan rumah Bandesa Kayuan.
Ketika Bandesa Kayuan keluar rumah, ia
menjumpai seseorang sedang istirahat di depan rumahnya.
Ketika ditanya, orang itu menjawab bernama Danghyang Kanaka, berasal dari
Pasraman Wanakeling, Madura. Danghyang Kanaka menjelaskan, bahwa beliau datang
ke sana di dalam perjalanannya berdarma wisata ingin mengetahui keadaan sebenarnya. Danghyanag Kanaka juga menjelaskan,
Pulau Bali sangat terkenal keindahannya. Bandesa Kayuan lalu mempersilakan
Danghyang Kanaka memasuki rumahnya. Bagi Danghyang Kanaka, rumah itu terasa.
I Gusti Ngurah Jelantik di Puri Pejeng pads malam perkawinan
tersebut Tatkala hari mulai gelap.
Ada yang Sedang mandi tiba-tiba mendadak s mengurung Puri Peje pasukan
Pejeng merintahkan pasukan Terjadilah pertemp keris pusakanya berlangsung sampai cukup lama, perte Selatan Pejeng. Ngurah Jelantik bantuan pasukan mahkota Gianyar.
Sunyi. Danghyang
Kanaka lalu bertanya mengapa rumah Bandesa terasa sunyi. Danghyang Kanaka juga melihat Bandesa Kayuan memendam kesedihan. Bandesa Kayuan lalu
menjelaskan, bahwa memang benar rumahnya terasa sunyi dan is dalam keadaan
sedih akibat anaknya yang laki-laki
meninggal dunia saat masih jejaka. Yang masih hidup adalah anaknya yang
perempuan saja bernama Luh Kayuan. Yang juga menyedihkan, Bandesa Kayuan
sudah lanjut umur sehingga tidak mungkin lagi menurunkan parati santana. Danghyang Kanaka lalu bertanya apakah
Bandesa Kayuan menginginkan keturunan
lagi. Bandesa Kayuan menjawab, memang
demikian keinginannya. Oleh sebab itu, Luh Kayuan lalu dikawini oleh
Danghyang Kanaka. Mereka mengadakan upacara perkawinan di rumah Bandesa di Desa
Kayuan.
Kemudian dari perkawinannya ini, lahir dua orang anak laki-laki.
Yang sulung diberi nama Pangeran Mas, dan adiknya Pangeran Wanakeling. Pangeran
Mas lalu diserahkan kepada Bandesa Kayuan sebagai keturunannya. Sedang Pangeran
Wanakeling diajak kembali ke Wanakeling di Madura. Sebelum berangkat, Danghyang Kanaka berpesan kepada
Bandesa Kayuan, supaya desa tersebut mulai saat itu diganti namanya
menjadi Kayumas. Sedang Pangeran Mas sesudah
menggantikan kedudukan sebagai bandesa, bergelar Bandesa Kayumas.
Lama-kelamaan setelah Mpu Asthapaka (penganut agama Buddha) datang di Bali dan
bertempat tinggal di Desa Kayftas (Karangasem),
Desa Kayumas kem'udian diubah namanya menjadi Desa Budakeling. Nama itu
diabadikan sebagai kenangan bahwa beliau
berasal dari Keling yang memeluk agama Buddha. Sekarang keturunan Mpu
Asthapaka disebut Brahmans Buddha.I II
Pada tahun aka 1768 (tahun 1846 M) yang berkuasa di
Pejeng adalah Cokorda Pinatih. Salah seorang putrinya dipinang oleh
I Dewa Manggis Dhirangki, Raja Gianyar untuk dijadikan istri. Namun pinangannya
ini ditolak. I Dewa Manggis Dhirangki menjadi
sangat march. Panglima pasukan Gianyar I Gusti Ngurah Jelantik XVIII mohon izin kepada Raja Gianyar
untuk menggempur Pejeng. Permohonan ini disetujui Raja Gianyar. Sebab
itu I
Pada masa pemerintahan I Dewa Ketut Ngulesir sebagai
Dalem Gelgel dengan gelar Sri Smara Kapakisan yang dinobatkan pada tahun Qaka 1302 (tahun 1380 M) dan memerintah
sampai dangan tahun gaka 1382 (tahun
1460 M), I Gusti Tangkas diangkat sebagai Anglurah di Kerthalangu
bergelar I Gusti Pangeran Tangkas. la mempunyai seorang anak laki-laki bernama
I Gusti Tangkas Dhimadya alias I Gusti
Keluwung qakti. Sayang, anaknya ini tidak bisa membaca. Kebodohannya itu
ternyata berakibat fatal.
Pada suatu hari, Dalem Gelgel mengirim surat kepada I
Gusti Pangeran Tangkas. Surat itu dibawa oleh
seseorang yang dinyatakan
bersalah. Surat itu isinya antara lain bahwa si pembawa surat
hares dihabisi jiwanya oleh I Gusti Pangeran Tangkas. Namun setibanya
perutusan dari Gelgel itu di Kerthalangu, I Gusti Pangeran Tangkas tidak ada di
rumah karena sedang berpikat (mencari burung). Lalu surat tersebut diberikan
kepada I Gusti Tangkas Dhimadya. Dan si
pembawa surat tadi, kembali ke Gelgel. Pembawa surat itu yang
direncanakan oleh Dalem Gelgel untuk dibunuh
akhimya terhindar dari mala petaka. Sebaliknya, I Gusti Tangkas Dhimadya
menemui nasib malang. Akibat beta huruf, akhirnya
menjadi korban pembunuhan di tangan ayahnya sendiri. Sebab di dalam surat itu disebutkan siapa yang menyerahkan
surat An supaya dibunuh. Loyalitas I
Gusti Pangeran Tangkas terhadap Dalem tampaknya tanpa perhitungan,
sampai mengorbankan anaknya tanpa doss. Peristiwa itu menyebabkan I Gusti Pangeran Tangkas
putus asa. Selain menyadari kekeliruannya, ia jugs menyalahkan kekeliruan Dalem
Gelgel. Akibat perintah surat yang nahas itu.
Jenazahnya diselenggarakan oleh seperti permintaan I Gusti Dari perkawinan
Kyayi Gusti Luh Tangkas Kori Agung, 1 masing bemarna Pasek Pang Tangkas Kori
Agung, Pasek Pangeran Tangkas akhirnya
kehilangan anak satu-satunya sebagai ahli waris. Oleh karena itu, ia
tidak mau menghadap Dalem ke Gelgel. Dalem Gelgel tampaknya mengerti perasaan
Pangeran Tangkas. Dalem juga merasa keliru dan kurang hati-hati. Untuk menghibur bawahannya itu, I Gusti Pangeran Tangkas
dianugerahi seorang istrinya yang
sudah hamil dua bulan. Pesan Dalem, anak yang akan dilahirkan itu agar
diangkat sebagai ahli waris dan ibunya diperkenankan dipakai istri. Nama anak
yang bakal lahir itu supaya ditambah dangan Kori Agung.
Sesudah
cukup umur kandungan tersebut lahir seorang anak perempuan, lalu diberi nama Ni Luh Tangkas Kori Agung. Setelah dewasa, Ni Luh Tangkas Kori Agung dikawini oleh
Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel.
Sebelum perkawinan ini dilangsungkan, ada permintaan I Gusti Pangeran
Tangkas. Oleh karena ia tidak lagi mempunyai keturunan, maka apabila ia
meninggal dunia, agar upacara jenazahnya diselenggarakan oleh Kyayi Gusti Agung
Pasek Gelgel. hka dari perkawinannya ini
melahirkan putra, supaya diberikan nama Pasek dan Bandesa Tangkas Kori
Agung, agar tidak terputus hubungannya dangan para leluhur. Sebab I Gusti Pangeran Tangkas memiliki ibu dari Pasek Bandesa.
Selain itu, I Gusti Pangeran Tangkas menyerahkan rakyat berjumlah 200 kepala keluarga dan harta benda kekayaannya
kepada Kyayi Gusti Agung Pasek
Gelgel. Namun permintaan I Gusti Pangeran Tangl~A5 ini belum disanggupi oleh Kyayi Gusti Agung Pasek
Gelgel, karena masih akan dibicarakan dan minta persetujuan sanak
saudara Ki Pasek sekalian.
Sesudah
permintaan I Gusti Pangeran Tangkas tersebut disetujui oleh Ki Pasek semua,
maka terjadilah perkawinan antara. Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dangan Ni Luh Tangkas Kori
Agung. Setelah kawin Ni Luh Tangkas Kori Agung ikut pads suaminya yaitu Kyayi
Gusti Agung Pasek Gelgel di purinya di Gelgel dan bukan di Desa Tangkas. Ini
dilakukan sesuai dangan hukum yang berlaku yakni
mengikuti purusa (pihak laki). Seluruh rakyat
dan harta benda kekayaan I Gusti Pangeran Tangkas sejak itu menjadi
milik Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel. Kemudian Pasek
Tangkas Kori Agung. tidak lagi mempunyai ke Agung, maka keempat pu Pangeran Tangkas di
Desa dan memelihara Pura T (nyungsung) Pura Kawitan (Maha Gotra Pasek S
Parhyangan (Pura Le Dasar Bhuwana Gelgel Ada perintah Kyayi putranya demikian: "A (leluhur)
di Pura Tegeh tepi sungai Unda, ini bernama Ki Pasek T Kori (Kori Agung) dan wara. Sungsang, dan kan
upacara Sugi diingat dan ditaati prasasti
Kawitan ikut dengan Pasek Dasar Bhuwana Lempuyang M Kawitan (leluhur jangan sampai kamu miliki dan piagam tersebut tinggal sanak suci para.
Sesudah I
Gusti Pangeran Tangkas meninggal dunia, upacara jenazahnya diselenggarakan oleh Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel seperti
permintaan I Gusti Pengeran Tangkas dahulu.
Dari perkawinan Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel dangan Ni
Luh Tangkas Kori Agung, lahirlah empat orang putra, masingmasing
bernama Pasek Pangeran Tangkas Kori Agung, Bandesa Tangkas Kori Agung, Pasek
Bandesa Tangkas Kori Agung dan Pasek
Tangkas Kori Agung. Oleh karena I Gusti Pangeran Tangkas tidak lagi
mempunyai keturunan kecuali Ni Luh Tangkas Kori Agung, maka keempat putranya
itu ditempatkan di puri I Gusti Pangeran Tangkas di Desa Tangkas. Di sana
mereka ngemong dan memelihara Pura Tangkas,
di samping ikut memuja (nyungsung) Pura Kawitan Kyayi Gusti Agung Pasek
Gelgel. (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi)
lainnya yaitu Cater Parhyangan (Pura Lempuyang Madya, Ratu Pasek di
Besakih, Dasar Bhuwana Gelgel. dan (~ilayukti).
Ada perintah
Kyayi Gusti Agung Pasek Gelgel kepada keempat putranya demikian: "Agar
kamu tact memuja (nyungsung) Kawitan (leluhur) di Pura Tegeh Kori (Kori Agung) di Desa Tangkas di
tepi sungai Unda, ini selalu harus ditaati oleh anak-anakku yang bernama Ki Pasek Tangkas. Yang dipuja di sana
ialah Ratu Tegeh Kori (Kori Agung)
dan piodalannya jatuh pada hari Jumat Keliwon, wara Sungsang, clan kamu Pasek Tangkas harus menyelenggarakan
upacara Sugimanik dua kali, semuanya itu supaya selalu diingat clan
ditaati Berta semuanya itu suclah dimuat di dalam prasasti Kawitan (leluhur). Kecuali itu Pasek Tangkas juga harus ikut dengan Pasek Gelgel memuja Ratu Pasek di
Besakih, di Pura Dasar Bhuwana Gelgel, gilayukti di Padang, terutama di
Pura Lempuyang Madya. Keturunanku juga harus memiliki piagam Kawitan (leluhur) yakni prasasti atau pabancangah
sebagai obor, jangan sampai nantinya kamu kehilangan suluh, semua itu
harus kamu miliki clan ditaati sampai di
kelak kemudian hari. Di dalam piagam tersebut harus senantiasa
dicantumkan nama dan tempat tinggal sanak
sauclaramu yang diajak bernama-lama memuja arwah suci para leluhur, supaya seluruh keturunanmu selalu ingat dangan langan
anak satu-satunya sebagai tidak mau menghadap Dalem
ko, iN a mengerti perasaan Pangeran chru dan kurang hati-hati. Untuk isti Pangeran Tangkas dianugerahi nil dua
bulan. Pesan Dalem, anak dianakat sebagai
ahli waris dan istri. Nama anak yang bakal lahir Tangkas Kori Agung. tersebut
lahir seorang anak Luh Tangkas Kori Agung.
Setelah , dikawini oleh Kyayi Gusti)
perkawinan ini dilangsungkan, ada . an2kas. Oleh karena ia tidak lagi apabila
ia meninggal dunia, agar .arakan oleh Kyayi Gusti Agung iannya ini melahirkan putra, supaya ndesa Tangkas Kori Agung,
agar organ para leluhur. Sebab I Gusti U
dari Pasek Bandesa. Selain itu, I a\ crahkan
rakyat berjumlah 200 a kekayaannya
kepada Kyayi Gusti ,rmintaan I Gusti
Pangeran Tangkas i Gusti Agung Pasek
Gelgel, karena tinta persetujuan sanak saudara.
2.2 Silsilah
keluarga pengompon Tangkas Kori Agung di Nagaspha
Sejarah
kawitan Tangkas Kori agung yang brada di desa Nagsepaha Pertama kali di empon
oleh tiga puruse yaitu Wayan Ruci, Pan
sasih dan Pan Kandel.
Keturunan pengempon merajan yang
pertama:
1.
Wayan Ruci
Wayan
Ruci memiliki 8 anak 5 Putra dan 3 putri
di antaranya
1)
Pan Liu
2) Made
Saje
3) Gede
Kentel
4) Made
Pias
5) Nyoman
kintan
6) Ketut
Sayang
7) Luh
Santep
8) Pan
Singgih
2.
Pan Sasih
Pan Sasih memili
4 putra di antara nya;
1)
Wayan Tantri
2) Made Raka
3) Nyoman
Sada
4)
Ketut De
3.
Pan Kandel
Pan Kandel memiliki 3 putra diantaranya
1)
Jro Dalang
2)
Made Gampil
3)
Wayan Wikan .
Saya termasuk keturunan dari Wayan Tantri anak
Pertama dari Pan Sasih. Wayan Tantri memiliki 3 Putra dan 2 Putri di antaranya
;
1)
Luh Tantri
2) Nengah
Tantra
3) Nyoman
Sumandra
4) Ketut
Mandri
5)
Ketut Pepek
Saya
termasuk Cucunya dari I Nengah Tantra Anak dari I Wayan Sukada.
2.2 Nama, dan Banten dalam Pelinggih
2.2.1 Taksu Gumi
Taksu
gumi adalah Taksu yang berbentuk
menyerupai Jero gede dimana taksu tersebut di bangun dengan atap dan rong satu
disanalah istana sang raja kala, yang memberikan sebuah kewibawaan pada
pelinggih, banten yang di haturkan pada pelinggih taksu gumi adalah. Tipat
gong.adapun ukuran asta kosala kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu :Panjang 3,5 Lebar 4,5.
2.2.2 Taksu Prit
Taksu perit merupakan taksu yang terbuat dari kayu
memiliki rong satu taksu tersebut di
bangun dengan atap dan rong satu disanalah istana sang raja kala, yang
memberikan sebuah kewibawaan pada pelinggih, banten yang di haturkan pada
pelinggih taksu perit adalah canang ajengan.adapun ukuran asta kosala kosalinya menggunakan
ukuran kaki yaitu :Panjang 4,5, Lebar 4,5.
2.2.3 Dewa Ayu Pesaren
Bangunan
suci ini menyerupai bangunan kemulan hanya
memiliki dua ruangan atau ( rong ) kanan dan kiri. Dimasyarakat hindu
kususnya di Bali bangunan ini di beri
nama bermacam-macam sesuai dengan loka dresta, ada yang menamakan linggih hyang
kompiang, ada yang menyebutkan linggih bhataara hyang, dan ada juga yang
memberi sebutan pelinggih kawitan. Sesungguhnya m,aksud dari semua penyebutan
nama tersebut adalah benar yaitu memiliki maksud dan tujuan bahwa pada bangunan
suci tersebut adalh merupakan stananya
para rokh-rokh suci dari suatu clan. Bangunan suci ini tidak pada semua
Pemertajan umat Hindu ada, ada umat yang membuat bangunan ini dan ada juga yang
tidak.
Canang
yang di haturkan pada pelinggih Dewa Ayu Pesaren Adalah Canang ajengan dan tipat
bekelan adapun ukuran asta kosala
kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu
:Panjang 4,5, Lebar 6,5.
2.2.4 Maje Lengke
Palinggih
Maja lengke yang ada di merajan
merupakan pelinggih penyawangan
di pure Maja lengka , banten yang di haturkan di pelinggih maje lengke adalah canang
ajengan adapun ukuran asta kosala
kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu
: Panjang 6,5, Lebar 4,5.
2.2.5 Tiga Sakti (Rong Tiga)
a) Menurut
lontar usana dewa
Disanggah kembulan adalah Ide Sanghyang atma, di
sebelah kanan adalah ayah dalam paramatma dan sebelah kiri adalah Ibu sebagai
siwatma dan ditengah adalah tribrahma yang menjadi Ibu dan Ayah berbadan
Sanghyang tubuh.
b)
Menurut Lontar Gong wesi
Dibagian kanan ayah adalah sang paratma dan sebelah
kiri adalah Ibu sebagai siwatma dan ditengah adalah menjadi satu dan disebut
sanghyang tunggal.
c) Menurut
Lontar purwa bumi
Jika setelah selesai melakukan Pitra Yadnya, maka
wajib mendak nuntun Dewa Pitra dan distanakan di sebelah kanan laki-laki
sedangkan untuk dewa pitra yang wanita sebelah kiri, itulah yang disebut stana
leluhur.
d)
Menurut Lontar Purwa bumi kamulan jika
setelah melaksanakan sebuah upacara pitra yadnya tidak melakukan pendak tuntun
dewa pitra maka sang leluhur tersebut tidak mendapatkan tempat. Inilah yang
akan menyebabkan leturunannya sakit tidak ada habisnya dan tidak akan bisa
disembuhkan dengan obat apapun sebelum pitranya mendapatkan tempat yang tetap.
2.2.5.1 Hubungan Tri Rna Dengan Ngelinggihang di Rong Telu
Tri Rna dengan ngelinggihang Roh
orang yang meninggal adalah untuk Melaksanakan kewajiban anak yang
suputra untuk melakukan proses penyucian roh leluhurnya dengan melaksanakan
upacara Ngaben (Sawa Wedana), upacara Atma Wedana, upacara Nuntun Dewa Hyang
serta melakukan sembah bakti dengan memperingati Pujawali Dewa Hyang serta Ibu
Kawitan. Dengan melaksanakan kewajiban tersebut maka sang roh merasa berbahagia
, untuk membahagiakan roh leluhur atau pitara perlu dipersembahkan tarpana,
upacara pujawali dewa hyang bagi roh yang sudah menjadi dewa pitara, dll.
2.2.5.2 Hubungan Karma Dengan Ngelinggihang Atma di Rong Telu
Ketika masih hidup: tubuh
dibersihkan dengan air; pikiran dibersihkan dengan kejujuran; jiwa dibersihkan
dengan ilmu dan tapa (tapa = usaha untuk mengendalikan nafsu dan jasmani); akal
dibersihkan dengan kebijaksanaan.
Setelah meninggal dunia, melalui upacara Ngaben, atma
dilepaskan dari bungkusan pertama, yaitu ikatan Stula Sarira (Panca Mahabuta),
dan melalui upacara Nyekah, atma dilepaskan dari bungkusan kedua, yaitu ikatan
Suksma Sarira (Panca Tanmatra). Setelah atma dilepaskan dari bungkusan pertama
dan kedua, atau dibebaskan dari kedua ikatan yaitu Panca Mahabuta dan Panca
Tanmatra (Tanmatra = tidak kelihatan, tetapi dapat dirasakan) maka tinggalah
Panca Karmaindria atau Karma Wasana, yaitu:
- Padaindria: karma wasana karena langkah kaki.
- Payuindria: karma wasana karena makanan.
- Panenindria: karma wasana karena gerakan tangan
- Upastenindria: karma wasana karena kehidupan sex
- Wakindria: karma wasana karena ucapan perkataan yang keluar dari mulut dan karma wasana karena pemikiran.
Karma Wasana terus melekat pada
atman, dan pada waktu upacara Mepaingkup, Karma Wasana inilah yang dinilai oleh
Ida Sanghyang Parama Kawi untuk menetapkan kehidupan atman selanjutnya, apakah
ber-reinkarnasi atau menyatu dengan-Nya.
Pemahaman ini dapat digambarkan sebagai berikut:
PANCA MAHABUTA
|
PANCA TANMATRA
|
PANCA KARMENDRIA
|
|
Pertiwi
Apah Teja Bayu Akasa |
Ganda Tanmatra
Rasa Tanmatra Rupa Tanmatra Sparsa Tanmatra Sabda Tanmatra |
Padendria
Payundria Panendria Upastendria Wakindria |
|
Musnah ketika Ngaben
|
Musnah ketika Nyekah
|
Sisa = Karmawasana
|
|
2.2.5.3 Hubungan Moksa Dengan Ngelinggihang di Rong Telu
Moksa tidak hanya memiliki arti
bersatu dengan Brahman , Di dalam kitab suci Weda dijelaskan tujuan agama
sebagai tercantum dalam sloka “MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH”
yang artinya bahwa tujuan agama atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita dan
moksa. Moksa juga disebut Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau juga
disebut mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng di akhirat. Jagadhita juga
disebut bhukti yaitu kemakmuran dan kebahagiaan setiap orang, masyarakat,
maupun negara.
Seorang yang meninggal tidak selalu
bersatu dengan Tuhan atau moksa, namun ada pula yan breinkarnasi dan ada juga
sang atman menjadi pelayan tuhan untuk selamanya,serta menjadi dewa hyang
sehingga diperlukan lagi pujawali di pemerajan kususnya di rong telu dengan
mempersembahkan yadnya. Sedangkan Atma yang tidak moksa ia masih berada di alam
pitara . didalam alam pitara yang menjadi penderitaan adalah kelaparan dan
kehausan sehingga untuk membahagiakan roh tersebut diperlukan persembahan
berupa makanan dan minuman di rong telu maupun di pemerajan atau kamulan oleh
anak cucu. Yang di Puja bukan semata-mata orang yang meninggal tetapi adalah
Atman orang yang telah meningal yang sudah hampir memiliki sifat kedewaan.
Pitara yang ada di Alam Dewa memiliki tingkat kehidupan yang lebih tinggi
daripada manusia dan mempunyai sebagian sifat-sifat kedewaan, sifat-sifat
ketuhanan. Pitara diharapkan mampu memberikan anugrahnya dalam menjaga
keharmonisan dunia pada umumnya dan keluarga leluhur yang bersangkutan pada
khususnya.
Kemulan adalah Tempat bersemayam
Para Leluhur yang telah di Aben, Beliau bersentana di Kemulan sesuai dengan
segala perbuatan dan apabila pada saatnya Atma harus reinkarnasi maka Atma akan
Reinkarnasi kepada penerusnya.
Jangka waktu reinkarnasi tidak secepat yang kita bayangkan,
didalam dharmasastra disebutkan bahwa orang yang hidup di jaman kali yang
berperilaku buruk akan lahir menjadi binatang atau tumbuh-tumbuhan di jaman
satya yuga setelah penciptaan kembali alam semesta.
Bangunan
Suci Rong Tiga, Penamaan ista dewatanya pada bangunan suci kembulan sesuai
dengan sumber-sumber sastra yang ada, adalah merupakam manifestasi Sanghyang
widhi setelah bernabifestasi memberi kekeuatan pada jalan simpang tiga (marga
tiga) yaitu dengan swabawa” Sanghyang
sapuh jagad”,beliau bermanifestasi kepemerajan yaitu pada
bangunan suci kemulan dengan swabhawanya sebagai” sanghyang guru suksma”.Sanghyang guru suksma
memiliki kemahakuasaan Trimurti, yaitu dengan manifestasiNYA Brahma,
bermanifestasi lagi sebagai” sanghyang Sri Guru dengan swabawanya, banten yang di haturkan di kembulan rong tige adalah Penek. adapun ukuran asta kosala kosalinya menggunakan
ukuran kaki yaitu : Panjang 7, Lebar
3.
2.2.6 Surya
Surya
sebuah bangunan untuk memuja sang hyang surya raditya sebagai saksi segala
kegiatan manusia khususnya ritual yadnya. Dalam lontar sivagama gelar surya
raditya adalah gelar dari dewa surya atas anugrah dari dang guru (dewa siva).
Karena bakti dan kepandaian beliau. Hyang surya diberikan anugrah sebagai
upasaksi segala kegiatan manusia dan pemberi cahaya, pemusna segala kegelapa.
(Wiana dalam Wikarman, 1998: 12 dalam Gunawan 2012:22) Dari uraian ini tampak
jelas ada pengaruh sekte sora (surya) dalam pedrian pelinggih surya. Dan banten yang dihaturkan banten pejatian.
Adapun ukuran astakosala-kosali. Panjang 7,
Lebar 8, 5.
2.2.7 Gagelang
Gagelang
merupakan pelinggih penyawangan, sejarah penyawangan pelinggih ini tidak
diketahui dan sudah di terima dari dahulu seperti itu. pada saat odalan banten
yang digunakan canang sari, peras. Adapun ukuran astakosala-kosali: Panjang 3, Lebar
4, 5.
2.2.8 Taksu
Bangunan
ini juga berbentuk Gedong tapi dua macam, yang pertama ; Gedong bertiang empat
sekepat (saka empat) beruang dua ( rong dua ). Macam yang ke dua gedong juga
hanya memiliki tiang pendek ( saka pandak ) di depanya , ruangnya satu ( Rong
tunggal) namun saka pandak itu sudah memberikan arti dua ruangan ( rong dua )
Mengenai
kata taksu, masyarakat hindu sebagian besar masih memiliki pengertian dan
persepsi yang masi sempit, umpamanya kalau di anggota keluarga tidak ada yang
jadi penari, pedalangan, dukun dan sebagainya
dianggap tidak perlu memiliki pelinggih taksu. Menurut sumber ajaran
agama hindu sesungguhnya tidak demikian melainkan taksu tersebut bersifat
unifersal dan merupakan kekuatan profesi masing-masing umat. Setiap manusia
memiliki propesionaliti. Dan ukuran astakosala-kosali: Panjang, 3, Lebar, 3.
2.2.9 Gunung Agung
Pelinggih
Gunung agung yang berada di merajan merupakan penyawangan ke gunung agung
dimana pada saat odalan pelinggih tersebut dihaturkan cang ajengan. Dan ukuran
astakosala-kosali: Panjang, 3, Lebar, 3.
2.2.10 Puseh
Pelinggih
puseh yang berada di merajan merupakan penyawangan ke pelinggih puseh yang ada
di Desa, di dalam pelinggih puseh terdaapt kristalisasi sekte Waisnawa kedalam
sekte siva siddhanta, pura puseh merupakan setana dewa wisnu yang berarti sekte
waisnawa. Dimana pada saat odalan pelinggih tersebut dihaturkan cang ajengan.
Dan ukuran astakosala-kosali: Panjang, 3, Lebar, 3.
2.2.11 Tampul lawang
Pelinggih
ini merupakan pelinggih penyawangan, adapun banten yang dihaturkan pada saat
odalan ajengan dan canang sari. Dan ukuran astakosala-kosali: Panjang, 3, Lebar,
4,5.
2.2.12 Majang Sakaluang
Bentuk
bangunan suci manjang sakeluang adalah gedong juga hanya memiliki tiang (sake)
lima buah saka yang di belamang dua buah dan tiga buah di depannya. Tiang yang
depannya, dua tiang di kanan kirinya lebih pendek sehingga kaki kedua tiang
tersebut tidak berpijak pada dasarnya (mengambang).
Di
depan bangunan, tepat pada tiang di tengah diisi sebuah simbul berupa kepala
binatang menjangan, hal inilah yang sering menjadi pertanyaan dikalangan
masyarakat Hindu yang paling kami khawatirkan adalah kesalahan persepsi dari
kalangan umat Hindu tentang sembil tersebut, yaitu dipersepsikan. Umat Hindu
menyembah binatang menjangan. Oleh karna itu kami brusaha dan merasa terpanggil
dalam hal pengentasan kemiskinan spiritual dari para umat hindu untuk itu kami
mencoba memberikan penjelasan sebagai informasi melalui penulisan.
Pelinggih
ini merupakan stana dari Mpu Kuturan dengan bhiseka Limas pahit, Penyebar dan
penyempurnaan agama Hindu di Bali abad ke-10, bentuk palinggih ini berisi
kepala menjangan lengkap dengan tanduknya. Yang di persembahkan kepada
pelinggih Manjangan sdalwang adalah Canang Ajengan.
Banten
yang di persembahkan kepada betara yang melinggih di pelinggih Sake
Manjang Sakeluang adalah Canang Ajengan.
. adapun ukuran asta kosala kosalinya
menggunakan ukuran kaki yaitu : Panjang 3,5, Lebar 4.
2.2.13 Bagus Tangkid
Pelinggih
Bagus Tangkid yang terdapat di merajan adalah penyawangan di pura tangkid.
Dimana pada saat piodalan di mrajan kami melakukan penyawangan saja, canang yang
di persembahkan kepada betara yang beristana di pelinggih tersebut adalah
Canang ajengan adapun ukuran asta kosala
kosalinya menggunakan ukuran kaki yaitu
: Panjang 3,5, Lebar 4,5.
2.2.14 Bagus Bulia
Pelinggih
Bagus Bulian yang ada di sanggah kami adalah Penyawangan di pura bulian dimana
pada saat piodalan kami ngayat dari mrajan / nyawang canang yang di persembahkan kepada betara
yang beristana di pelinggih tersebut Tipat Gong. adapun ukuran asta kosala kosalinya menggunakan
ukuran kaki yaitu : Panjang 3, Lebar
3.
2.2.15 Dewe bagus Balang.
Dewe
bagus Balang merupakan dewe penyawangan dimana pada saat odalan banten yan di haturkan adalah canang peras .
adapun ukuran asta kosala kosalinya menggunakan
ukuran kaki yaitu : Panjang 4,5, Lebar
4,5.
2.2.16 Pangurah agung / piasan
Pangrurah
Agung sejenis dengan piasan atau bale paruman ini merupakan stana bhatara dan
bhatari, ketika di persebahkan piodalan atau ayaban jangkep. Dan dapat pula di
artikan sebagai piyasan karena pralingga-pralingga dihiasi ketika
dilinggihkan. Bale pangurah agung letaknya di jeroan, pada saat
odalan jro mangku dan pengenter acara berada disana dan banten-banten yang di persembahkan di letakkan di bale pangurah agung. Tempat
ini bisa di katakan sebagai bale banten. Banyak banten yang di gunaakn pada
saat odalan.
2.2.17 Kembulan Rong Dua
Rong
dua, sebuah bangunan suci yang beruang dua tempat memuja leluhur dalam wujud
purusa dan pradana tempat ini pula untuk
menghaturkan “sodaan “. Perssembahan berupa banten kepada leluhur. Tempat ini
berfungsi untuk memuja leluhur yang
telah menurunkan trah / keturunan secara langsung, misalnya , kakek,nenek,paman,
bibik ,buyut yang telah meninggal ada sedikit perbedaan antara fungsi rong due
dengan rong tiga, dimana rong dua tempat memuja roh leluhur yang belum mencapai
kualitas dewata, belum di aben. Sedangkan rong tiga adalah tempat memuja roh
leluhur yang telah mencapaikualitas dewata , telah di sucikan dengan upacara
ngaben dan posisinya secara niskala beliau sudah setara dengan batara guru.
2.2.18 Pangrurah
Jro Gede merupakan kristalisasi sekte Ganapatya,
yang disebut sebagai dewa Ganesha yang merupakan tempat bersthananya dewa Gana,
dinama sekte dari Ganapatya berfungsi sebagai penjaga dan pelindung (Gunawan.
2012 : 19). Banten yang biasanya dihaturkan yaitu Tipat Gong.
2.2.19
Gedong Penyimpenan
Gedong Penyimpenan, difungsikan
sebagai menyimpan pralingga atau pratima Ida Bhatara yang disungsung disanggah
saya. Dan tempat menyimpat wastran pelinggih.
2.2.20 Balai Paruman
Balai
paruman ini biasanya digunakan pada saat mengadakan rapat atau sangkep. Balai
ini terletak di jaba tengah.
2.2.21 Lebuh
Pelinggih
ini adlah tempat untuk memuja yang memiliki pekarangan yang ditempattinggali
dalam tataran niskala. Secaaara kepercayaan masyarakat hindu yang berstana di
sana adalah Hyang Ibu Pertiwi (Dewi
Sri). (Gunawan, 2012: 22).
BAB
III PENUTUP
Simpulan
Dalam
pelinggih saya terdapat penyatuan sekte-sekte kedalam sekte siva siddhanta bila
dikaitkan dengan yang di sungsung. Banyaknya bangunan pelinggih karena bangunan
penyawangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar