Selasa, 28 Januari 2014

TUGAS seni sakral “Barong Bangkung”


TUGAS seni sakral
“Barong Bangkung”

I. PENDAHULUAN

            Bali memiliki banyak budaya, sehingga mengundang banyak wisatawan untuk datang ke pulau Bali. Karena Bali memiliki pesona tersendiri, yang terdiri dari beberapa Desa Pakrman, yang memiliki masing-masing budaya yang berbeda-beda. Yang membuat keaneka ragaman budaya Bali, dan kasanah tradisi dari masing-masing Desa atau tempat yang ada di Bali. Sehingga Bali memiliki banyak budaya dan seni. Dalam upacara ke Agamaan terdapat tradisi atau budaya yang melengkapi plaksanaan upacara ke Agamaan di Bali. Ada beberapa pelengkapa plaksanaan upacara yang ada di Bali, seperti: Gamelan, Tembang, Tarian. Dan yang lainnya, yang semuanya itu membantu prosesi plaksanaan upacara ke agamaan yang ada di Bali.
Dan tarian yang fungsinya mengiringi upacara ke Agamaan  tidak hanya satu jenis saja namun ada beberapa jenis, diantaranya Tarian Barong. Dan tarian Barong  Saja ada beberapa macam diantarnya: Barong Bangkung, Barong Brutuk, Barong Ket, Barong Landung. Tarian ini biasanya di pertunjukkan di pura dan ada juga tariaN Barong yang  bisa juga di pertontonkan. Ada pula Barong yang di Sakralkan. Tarian Barong ke banyakan terdapat di Daerah Bali Selatan. Bahwa  nama “Barong“ berasal dari nama sejenis binatang “Beruang“, telah hampir populer di mayarakat Bali, diterima secara spontan tanpa suatu prasangka. Uraian tentang Bali yang direncanakan secara umun ataupun dalam bentuk sebuah monogram, oleh beberapa peninjau asing (Penulis Bali sendiri tidak pernah tahu –menahu) yang memperoleh impormasinya dari berbagai pihak di Bali, hampir tak pernah menanggapi persoalan nama ini secara serius.
Ada pula banyak fungsi dari Barong, tidak hanya sebagai pengiring upacara ke-Agamaan saja namuan, dapat pula di jadikan tontonan. Barong memiliki banya jenis. Diantaranya Barong Bangkal yang akan saya bahas pada tugas saya ini. Karena Barong Bangkal adalah sejis Barong yang sejis dengan babi. Dan memiliki ke unitikan tersendiri.


II. PEMBAHSAN

 2.1      Pertian Barong dan Asal-usul Barong.
            Bahwa  nama “ Barong “ berasal dari nama sejenis binatang “ Beruang “, telah hampir populer di mayarakat Bali, diterima secara spontan tanpa suatu prasangka. Uraian tentang Bali yang direncanakan secara umun ataupun dalam bentuk sebuah monogram, oleh beberapa peninjau asing ( Penulis Bali sendiri tidak pernah tahu – menahu ) yang memperoleh impormasinya dari berbagai pihak di Bali, hampir tak pernah menanggapi persoalan nama ini secara serius.Namun diantaranya ada juga yang memberi komentar demekian : “Nama Barong“ berasal dari nama nama sejenis binatang “Beruang“, namun barong tak pernah hidup di Bali. Pendapat demikian membayangkan suatu pendirian yang mengembalikan segala produk seni kepada “geophysical envi roment“.
Singa dan Gajah tidak ada di Bali, sebagaimana halnya dengan beruang. Akan tetapi, baik Singa ataupun Gajah sungguh populer di Bali, dia dikenal pada “pertualangan“ (peti jenazah berbentuk singa bersayap) dengan nama “singambara “, pada nama kota dan desa (Singamandawa, Singadwara, Singaraja, Singapadu dan sebagainya) pada sastra dan cerita rakyat. Gajah dikenal pada pertualangan (gajahmina), pada patung (genesa), pada relief / seni ukir (karangasu), pada nama bangunan (guagajah ), nama sebangsa rumput (padang gajah) dan sebagainya . Binatang – binatang ini tidak berakar dialam , tetapi hidup dalam sastra yang digemari masyarakat. Dalam hal ini bukan environment (lingkungan) yang menjelaskan, akan tetapi kebudayaan.
Demikian juga halnya dengan harimau, Berbeda dengan kedua jenis binatang tadi, harimau memang ada hidup di Bali. Namun sebangsa rumput (padang gajah) dan sebagainya. Binatang–binatang ini tidak berakar dialam, tetapi hidup dalam sastra yang digemari masyarakat. Dalam hal ini bukan environment (lingkungan) yang menjelaskan akan tetapi kebudayaan.
Demikian juga halnya dengan harimau. Berbeda dengan kedua jenis binatang tadi, harimau memang ada hidup dibali. Namun seniman-seniman Bali sendiri tidak baik secara langsung maupun khayalan untuk menjadikan model dalam hal seni rupanya. Selain binatang itu hampir tak pernah dilihat. Adalah lebih praktis kalau seniman–seniman seni rupa kontenporen itu hanya meniru atau membuat klise saja dari hasil karya rekan–rekannya terdahulu, yang tidak pula disangsikan berasal dari kebudayaan Hindu Jawa di jawa. Dalam hal ini dikecualikan model – model yang diangkat dari binatang peliharaan seperti : babi, anjing, kambing, kuda, sapi, lembu, kerbau, misa, kera, tikus, kucing, dan hampir  semua bangsa unggas.
Kalau nama “Barong“ itu hendak dipertahankan berasal dari nam “Beruang“, sebuah hipotese dapat dibentuk. Beruang tidak hidup dalam sastra Hinduistic, juga tidak dalam seni rupa atau sejenis itu yang bersifat tradisionil , tetapi didalam sastra Melayu yang Islamic. Kita dapat misalnya menyatakan , bahwa istilah “beruang“ dikenal oleh masyarakat Bali lewat leluhurnya yang ada di jawa, sejaman kerajaan Majapahit muali surut. Kerajaan islam mulai berdiri, bahwa kota–kota pelabuhan dipantai utara jawa timur menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (terutama pergaulan dagang), Bahwa dalam pergaulan nama “beruang“ disebut–sebut selesai, Namun apakah semua ini perlu?
Kita kira tidak perlu, karena sebenarnyalah kata “barong“ tidak ada sangkut pautnya dengan istilah “beruang“ nama sejenis binatang yang hidup didaratan Sumatra atau tanah Melayu ( Malaysia ).
Kata “Barong“ adalah kata asal yang dapat dikembalikan kepada sebuah kata jadian, terdiri atas suku kata awal  ba“ dan suku kata akhir “rong“ . Rong sama artinya dengan “rua“ ( dua ). Dalam bahasa jawa kita kenal kalimat “rong dir“ yang berarti dua orang, dalam bahasa jawa kuno ( kawi Bali ) pada istilah “rua bhineda“ ( dua berbeda ). Suku kata “ba“ adalah awalan “ber“ dalam bahasa indonesia, dan dianggap sebagai berasal dari awalan dalam bahasa melayu kuno. Demikian hingga dewasa ini , bahasa Melayu Minang (kaba) misalnya, masih tetap mempergunakan awalan “ba“ seperti dalam kata–kata: bertandiang (bertanding), bakumpua (berkumpul), batalua (bertelur, bapain (bepergian) dan sebagainya.  “Barong“ dengan demikian dapat berarti “berdua“ atau dalam bahasa jakarta  berduan“.
Barong  berasal dari “ba – ru – a – ng“ “Ru“  dengan “a“  berasimilasi menjadi “r” yang berarti diua. Dalam bahasa  Jawa Baru kita kenal kalimat “ping ro“ ( dua kali ), dalam bahasa bali “dauh ro“ pagi–pagi, kitra–kira jm 8-9, sasih karo ( bulan dua ). Huruf akhir “ng” fungsinya sama dengan akhiran  “an“ pada bahasa jakarta  Oleh karena  “ng“ merupakan akhiran semu, maka dijakarta akhiran ini ditambah lagi dengan akhiran “an“, sehingga kata “barong“ menjadi “ barongan“ . Menurut  jalan pikiran ini, maka barong adalah suatu benda ( permainan, quasi seni, seni ) yang dimainkan berdua.
Namun ada pendirian lain tentang nama “Barong“ ini yang bertolak kepada suatu pendapat, bahwa bahasa adalah suatu kebiasaan (costum), bahwa cara berpikir etymologic dianggap (dalam hal ini) sebagai dibuat – buat (artificial). Dikatakan, sebuah kata yang terdiri dari dua suku adalah masih tetap azasi didalam bahas Bali, bahwa kata itu menjadi kenyataan disebabkan oleh “rasa bahasa“ , dus bukan berdasarkan logika. Pendirian ini berkata, bahwa bila istilah – istilah bahasa Bali kita teliti, maka ternyata suku kata akhir “rong“, sebagaimana halnya dengan suku kata akhir “rung“ akan menimbulkan pengertian  adanya “ruang“ atau “besar” pada sesuatu yang dikenai istilah itu. Dalam hubungan ini ditemukan contoh seperti kata – kata : semprong, brerong, rongrong, arong, porong dan sebagainya, demikian halnya dengan sarung , karung , surung , barung , kurung dan sebagainya. Kemudian katanya malah setiap kata berakhir dengan nasal “ng“, misalnya : bolong, dadong, sangmong, kantong, gondong, lobong, dan sebagainyaa. Disimpulkan bahwa “barong“ adalah suatu benda apapun kwalifikasinya, yang srukturnya demikian rupa sehingga memiliki “rong“ atau “ruang“.

2.2    Perngertian  Barong Bangkal.
Bangkal adalah babi jantan yang usianya sudah lanjut (tua) di Bali. Bangkal juga merupakan binatang mytos yang mempunyai kekuatan gaib. Pakaian dari pada Barong ini dibuat dari pada kain beludru atau yang sejenis berwarna hitam, putih, merah, dan warna–warna lainnya. Barong bangkal diusung oleh dua orang, belakang dan muka. Barong ini dipertunjukkan pada Hari Raya Galungan  dan Kuningan. Biasa “ngelawang“ (pertunjukan keliling) selama satu bulan atau lebih. Orang–orang bisa merasa kehidupannya dilindungi Bhatara dan Bhatari  jika didatangi oleh barong Bangkal. Biasanya pertunjukkan Barong Bangkal diiringi oleh seperangkat gambelan bebatelan yang terdiri dari instrument-instrument seperti kendang, cengceng, kelenang, kempur, tawa – tawa, dan suling. Barong Bangkal ini biasanya terdapat didaerah Kabupaten Gianyar, seperti di Desa Singapadu, Belang , Pinda, dan lain –lainnya. Dan juga terdapat di Denpasar da Tabanan.

2.3     Proses Pembuatan Tapel Barong.
Pada kesempatan ini akan disamaikan teknis pembutan tapel Barong dari sejak mencari bahan kayu sampai jadi tapel Barong sebagai hasil karya seni. Umumnya pada setiap karya Undagi/Sangging harus memperhatikan ketentuan “kesucian kayu” bangunan/hasil karyanya. Para Undagi/sangging tapel harus mengingat dan memperhatikan hal–hal yang berhubungan dengan masalah–masalah tersebut diatas, karena kalau berbuat salah bisa berakibat buruk bagi pemilik tapel atau pada si sangging sendiri.
Beberapa hal mengenai proses kesucian kayu bahan tersebut, antara lain:
1.             Apakah sudah nunas / mohon secara wajar menurut adat dan agama?
2.             Sudahkan dilakukan upacara nuwedin (dengan upacara tertentu / waktu memohon kayu bahan itu?
3.             Apakah sudah matur pekeling / memberitahukan ditempat nunas kayu bahan, tentang sudah diserahkan kayu tersebut kepada si Undagi / Sangging untuk dikerjakan menjadi tapel Barong ?
4.             Bolehkah pembuatan tapel itu dikerjakan dirumah si Undagi /Sangging ataukah harus dipura yang bersangkutan ?
5.             Dan lain – lain.

Setelah di Undagi/Sangging itu menerim kayu bahan itu, dengan banten / sesajen sebuah peras, ituk–ituk, mulailah si Undagi/Sangging itu melakukan “pralina“ yakni mematikan fungsi kayu itu menjadi kayu mati yang dapat dijadikan bahan tapel Barong. Proses praline, Utpeti, Sruti ini akan tetap dilaksanakan oleh para Undagi/Sangging didalam mengerjakan hasil karya seninya. Kayu fungsinya sebagai kayu hidup menjadi kayu mati/bahan mati. Proses mematikan ini sangat menentukan dalam tindakan mengerjakan selanjutnya, karena dalam pekerjaan itu akan dilakukan dengan bermacam– macam perbuatan yang dapat mengurangi kesucian kayu itu, seperti dipegang dengan kedua kaki si Undagi /Sangging dalam memahat kayu bahan itu.
Dan pada waktu nunas (mohon) kayu itu pada suatu pura yang dapat ditunjuk, atau tempat keramat lainnya, diusahakan kalau dapat salah satu dari jenis kayu tersebut diatas, dan jika memang tidak ada maka barulah dipilih jenis lainnya, karena yang terpenting adalah nilai kesucian keagamaannya. Kadang – kadang juga dianggap baik ialah kayu Cempaka, Sandat dan lainnya. Jika terdapat kayu Pole, maka kepuasan rohani orang yang nunas/mohon akan lebih hebat lagi karena disamping baik dalam arti sacral akan tetapi memang kayu ini berkualitas baik untuk tapel.

2.4       Proses Sakralisasi Tapel Dan Busana Barong.
Setelah tapel beserta busana Barong itu dipasang, tapel dengan busananya ini adalah masih merupakan benda–benda mati (dulu dipralina fungsinya) dan sekarang barulah dicarikan hari baik untuk di Utpeti (dihidupkan). Yang dimaksudkan dalam peristiwa ini ialah segala daya upaya sekeha / penyungsung tetangunan itu untuk menciptakan suatu keadaan tertentu pada tapel / busana Barong , dari keadaan baru selesai dibuat oleh si Undagi / Sangging tapel untuk mencapai suatu tingkat kesucian tertentu.
Proses ini berlangsung atas beberapa upacara keagamaan sebagai berikut :
1.    Tingkat Prayascita dan Melaspas
2.    Tingkat Ngatep dan Masupati
3.    Tingkat Mesuci / Ngerehin
Umumnya tapel beserta busana Barong yang mengalami proses sakralisasi ini adalah yang merupakan pengayon Desa. Tapel/busana lainnya sekalipun dikramatkan tetapi kalau hanya untuk perorangan saja , cukup mengalami proses sakralisasi tingkat Masupati. Misalnya tapel topeng dan tapel lainnya yan pengkramatannya terbatas pada pragina/orang bersangkutan bertahan dengan gaya “taksu“ yang diharapkan atas tapel/busana tersebut .
Dalam hal ini seolah–olah daya magis tapel/busana itu dapat kita bagi menjadi dua jenis :
1.             Daya magis khusus untuk pragina sehingga dengan daya ini akhirnya terciptalah sesuatu daya tertentu pada penonton  yang tanpa daya ini tidak akan bisa diperoleh dari penonton.
2.             Daya magis disamping khusus pada pragina sehingga terciptalaah suatu efek tertentu , juga dapat memberikan suatu kekuatan pada masyarakat pendukungnya.
Pada umumnya untuk memperoleh / memiliki daya magis inilah diperlukan proses sakralisasi tingkat ketiga yaitu mesuci pada tempat keramat / tempat suci. Dan tingkat – tingkat Sakralisasi, yaitu:

2.4.1    Tingkat maprayascita / mepelaspas
Tujuannya adalah mengapuskan noda–noda/ leteh yang terdapat pada kayu itu sendiri ataupun mungkin leteh itu terjadi waktu pembuatannya oleh si Undagi, karena dilakukan bermacam–macam cara yang bisa mengurangi/mengotori kesucian kayu tersebut. Leteh/kotor yang dimaksudkan adalah leteh/kotor dilihat dari sudut agama. Proses ini mengembalikan keadaan kayu yang sudah menjadi tapel itu suci seperti kayu bahan dasarnya yang memang secara keagamaan dijaga dan dipertahankan melalui proses nunas dengan upacara tertentu pada tempat suci atau keramat/angker.

2.4.2    Tingkat Ngatep dan Masupati
Setelah upacara prayascita/pemelaspas selesai, masih ada upacara yang harus dilakukan oleh si Undagi/Sangging tapel yakni yang disebut “ngatep“ . Ngatep bukan untuk tapel penunggalau saja seperti sejenis tapel Barong, tapel Rangda saja, akan tetapi juga berlaku pada tapel–tapel lainnya. Secara simbolis tapel itu disambung (ngatep) dengan badannya dan pada gelungan / mahkota dengan busana lainnya seperti pada tapel–tapel keramat: tapel wayang wong.

2.4.3    Tingkat Mesuci/Ngerehin
Pada tingkat ini “tetangunan“ (pembentukan) Barong yang biasanya disertai rangda yang sudah mengalami proses Pralina, Utpeti dan Stiti, akan mengalami suatu peristiwa yang disebut Mesuci atau Ngerehin (Lontar Indik Kawisesan Ngerehin Tapel, Duwe Ida Pedanda Gede Pemedilan Pemecutan)  diadakan oleh penyungsung, kapan saja jika dipandang perlu, atau bisa juga Mesuci ini sebagai permintaan dari kekuatan gaib yang “diam“ pada tapel tersebut. Mesuci ini dapat dilakukan didua macam tempat :
a.                 Pekuburan/angker
b.                Komplek pura/Tempat suci
Upakara/bebanten masuci dikuburan/tempat angker memakai dasar/tempat duduk yang akan “Nyaluk“, adalah tulang tengkorak manusia ( 3 biji ) dan kalau masuci itu diaadakan dikomplek pura/tempat suci, maka yang dipakai dasar/ tempat petapaan bukan  tulang tengkorak manusia akan tetapi kelapa gading yang muda (bungkak).

2.5       Taksu
            Adalah suatu daya kekuatan yang terpancar dari seseorang Pragina (senima) sehinga dengan kekutan ini dia lebih berasil dalam petujukan. Dalam suatu pertunjukan Taksu dapat membatu memberikan nilai tambahan pada kemampuan teknis seorang pragina. Sehingga keluesan gerak, keindahan gerak dan laun-lain unsur-unsur indah dalam gerak , tari akan diperindah lagi daya  kekutan  ini
            Taksu dapat memberi kemampuan dalam  segala macam bentuk kesenian, dbagi seni suara dia akan memberikan nilai tambahan lagi sehingga kemampuan sipragina (seniman) mengatur vada-nada suaranya menjadi  sura yang lebih indah, manis itu akan timbul mantap dan bewibawa. Pendeknya bagi pertunjukan kesenian Bali mentaksu mempunyai peranan yang cukup penting demikian  pentingnya  taksu itu tetapi sulit kita kupas  secara analisa ilmiah. Hanya dapat kita uraikan dengan kepercayaan  sebagai dasar analisanya. Karena Taksu itu menyangkut bidang kepercayaan.
            Secara  umum penulisan dapat kemukakan bahwa kekuatan gaib yang ada dalam pertunjukan kesenian Bali ada 2 macam.
1.         Kekuatan gaib yang terpancar dari suatu alat kesenian sehingga alat kesenian itu bernilai  keramat, angker,menakutkan. Dan kekuatan gaib yang terpancar disini yang dapat membantu juga suksesnya suatu pertunjukan lebih bersifat umum. Yaitu dapat memberi efek positif  pada hampir setiap orang yang memakai alat kesenian itu.  Seperti barong keramat, akan tetapi menunjukan kewibawaannya dalam pertunjukan itu kalau ditarikan oleh orang orang yang sudah ditugaskan untuk itu.
2.         Kekuatan gaib yang bisa terpancardari pribadi sipragina ataupun dari alat     yang dipakainya. Dan kekuatan gaib ini lebih pribadi sifatnya. Hal ini dapat dimengerti karena memang proses mendapatkannya juga secara pribadi.

2.6       Barong Sebagai Seni Pertunjukan
            Barong disamping  sebagai figura yang di kemikakan dan berfungsi sebagai pelimdung dari masyarakat, pendukungnya, ia juga  berfungsi seni pertunjukan Barong karna banyak jenis-jenis Barong yang lain yang menarik untuk  diteliti dari segi pertunjukn, misalnya: seperti Barong Landung, Barong Berutuk dan Barong Biasa-biasa namun karna ia mempunyai keunikan masing-masing. Ia pun memerlukan study tersendiri.
            Kendatipun sudah disebutkan di muka bahwa pertunjukan barong tidak menggunakan lahon,namun perkembangan selanjutnya ternyata, ia menggunakan lakon , adapun lakon-lakon yang lasim di gunakan di dalam pertunjukan Barong adalah ceriteria calon arang, japatuan, Balian Batur, Basur dan beberapa seni  kereteria lainnya.
            Kapan kriteria-kriteria dimasukkan sebagai lakon tari Barong , hal itu lperlu di selidiki lebih seksama Menurut catatan Bapak I ketut Rindhe dari Belahbatuh binwa pertunjukan Calonarang sudah terdapat di Gianyar pada tahubn 1625 yaitu pada tahun pemerintahan I Dewa Agung  Sakti di Kelungkung . konon penari-penari Calonarang di ambil dari tokoh-tokoh pegambuhan di antarnya  I Sabdha dan I gaya sedangkan pelatih tabuhnya adalah I Dewa ketut Blacing dan I Gst ketut Rencong. Keempat tokoh tersebut diatas adalah seniman terkemuka di daerah Gianyar pada abad ke 19 yang menujukkan karya-karya niya di bidang tari Gambuh dan Legong. Pada kenyataannya bentuk-bentuk tari yang di pergunakan di dalam penyalonarangan adalah mendapat pengaruh dari Gambuh, sedangkan Gending-gendingnya memakai gending pelegongan yang kini umum di sebut gending Penyalon Arangan  Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan . bahwa dengan tokoh-tokoh itu yang ahli dalam pegambuhan dan pelegongan memberi corak dan warna yang sama di dalam penyalonarangan
            Dalam perkembangan selanjutnya di daerah Gianyar pada tahun 1920-an bahwa barong yang melakonkan Calonarang makin populer kususnya di Desa-desa seperti. pegutan, Denjalan, Tegal tamu (Batubulan) , Siungepadu (Suke Wati) , Pejeng (Bedeulu) dan lain-lainnya.

2.7       Gambar Barong.

http://blog.isi-dps.ac.id/bariawan/files/2011/12/2266102364_dee541f82a2-199x300.jpg
http://blog.isi-dps.ac.id/bariawan/files/2011/12/198018_185341618176437_100001017993885_432567_3973100_n1-300x225.jpg



III. PENUTUP

3.1 SIMPULAN
            Dari materi diatas dapat  saya simpulkan bahwa barong tidak dapat sebagai mengiri prosesi upacara saja namun dapat sebagai tontonan. Barong bangkal kebanyakan terdapat di Daerah Gianyar, Denpasar, Tabana. Barong Bangkal  merupakan babi jantan yang usianya sudah lanjut (tua) di Bali. Bangkal juga merupakan binatang mytos yang mempunyai kekuatan gaib. Pakaian dari pada Barong ini dibuat dari pada kain beludru atau yang sejenis berwarna hitam, putih, merah, dan warna–warna lainnya. Barong bangkal diusung oleh dua orang, belakang dan muka. Barong ini dipertunjukkan pada Hari Raya Galungan  dan Kuningan.               
DAFTAR PUSTAKA



1 komentar:

  1. pasti di IHDN masuk mok o?apo gen bagian - bagian barong nge ?

    BalasHapus